Oleh : Fajar Nugroho
Tuna sirip biru Atlantik di dunia kini terancam keberlangsungannya setelah upaya konservasi satwa dan fauna liar dalam konferensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) tak mampu melindungi melalui jalur regulasi baru-baru ini. Proposal tentang perlindungan terhadap beruang kutub, tuna sirip biru, terumbu karang, dan hiu tak ada yang memperoleh dukungan mayoritas pada konferensi CITES yang diselenggaran di Doha, Qatar pada Maret 2010.
CITES atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar, merupakan suatu pakta perjanjian yang berlaku sejak tahun 1975. CITES merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan stawa dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut.
Negara yang paling menolak upaya konservasi tersebut adalah Jepang. Sebagaimana diketahui Jepang adalah konsumen terbesar tuna di dunia yaitu sekitar 80 persen. Jepang mengolah tuna menjadi sushi makanan eksklusif kaum kaya. Penjualan tuna untuk dijadikan sushi memberikan keuntungan yang besar bagi perekonomian Jepang. Tentunya kerugian yang besar akan dialami Jepang jika perdagangan tuna dibatasi. Oleh karena itu pantaslah jika Jepang menjadi negara penolak keras pengajuan proposal perlindungan tuna pada konferensi CITES.
Tuna sirip biru mengalami kemerosotan populasi yang cukup tajam pada 40 tahun terakhir ini. Penangkapan berlebihan oleh para nelayan tuna merupakan faktor terbesar semakin berkurangnya populasi tuna di dunia. Harga jual yang mahal mendorong pengusaha tuna untuk terus melakukan aktivitas penangkapan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip konservasi.
Beberapa negara yang peduli terhadap kemerosotan populasi tuna sirip biru sadar bahwa tuna memerlukan waktu untuk memulihkan populasinya. Olah karena itu langkah pengajuan proposal dalam konferensi CITES untuk melarang perdagangan tuna dalam bentuk apapun adalah langkah yang tepat dan harus dilakukan sekarang setelah beberapa upaya sosialisasi penangkapan tuna secara lestari tidak mampu mengurangi tingkat penangkapan tuna sirip biru. Jika langkah ini gagal, dikhawatirkan spesies tuna ini akan punah untuk selamanya.
Kepentingan ekonomi jangka pendek ternyata mampu mengalahkan upaya konservasi. Keberlangsungan alam yang pada hakikatnya mempunyai peran jangka panjang dikalahkan oleh kepentingan perut manusia yang hanya sesaat. Jika demikian adanya, alamlah yang akan menyelesaikan sendiri permasalahannya melalui berbagai bencana. Harapan kini hanya pada kita yang peduli. Siapa lagi kalau bukan kita. (FN)
Cetak