MENGGUGAH KESADARAN SOSIAL
MENUJU PERSAUDARAAN HAKIKI
Oleh
Wahardi, S. Ag
PENDAHULUAN
Dalam ajaran Islam dikenal adanya Bulan Ramadan yang sering disebut dengan bulan training mental dan spiritual, artinya di bulan ini umat Islam diberi kesempatan untuk melakukan latihan demi latihan dalam menata mental dan mengasah potensi spiritual yang dimiliki dengan harapan melalui training ini seseorang mampu merenungkan, memahami dan menyadari akan hakekat dirinya sebagai hamba Allah Swt yang punya kewajiban-kewajiban terhadap Sang Khaliq dan menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk sosial yang tak terlepas dari lingkaran hak dan kewajiban antar sesama.
Kesadaran tersebut akan terlahir dari jiwa orang-orang yang berpuasa bilamana mereka benar-benar mengamalkan semua ibadah yang diwajibkan dan dianjurkan pada bulan suci ini dengan landasan keimanan dan penuh kekhusukan.
Untuk mewujudkan kesadaran akan eksistensi diri manusia sebagai makhluk sosial, melalui bulan penuh berkah tersebut, Allah Swt telah menyiapkan progran rutin yakni perintah bagi hambanya untuk menunaikan ibadah yang bersifat kolektif dan ibadah-ibadah sosial seperti sholat tarawih berjama’ah, memperbanyak shodaqoh dan kewajiban membayar zakat fitrah.
Ibadah seperti ini secara langsung maupun tak langsung dapat menstimulasi tumbuhnya rasa kebersamaan dan menyuburkan benih-benih solideritas sosial `dan persaudaraan yang berbasiskan iman kepada Allah SWT.
Menurut Hasan Al Bana : hal inilah yang akan menjadi sumber segala kebajikan, pilat-pilar keutamaan dan pondasi pembangunan kedamaian sebagai perwujudan dari syiar panji-panji Islam dalam menyemai visinya Rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana Allah berfirman :
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya :” Dan tidaklah kami utus engkau wahai Muhammad kecuali membawa rahmat
bagi alam semesta”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kedatangan nabi Muhammad dengan membawa ajaran Islam di tengah-tengah kehidupan adalah untuk membangun umat secara universal dengan menegakan sendi-sendi akhlakul karimah, membangun solideritas sosial yang tinggi dalam bentuk persaudaraan abadi.
Ruh ajaran Islam ini harus kita jadikan sebagai pijakan / landasan dalam setiap lini kehidupan. Sebab persaudaraan antar sesama merupakan kebutuhan setiap insan dalam mengukir peradapan, sebab karakter dasar penciptaan manusia memiliki sifat ketergantungan antar sesama. Allah berfirman :
t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ
Artinya : “ Dia (Allah) telah menciptakan manusia dari sesuatu yang tergantung di
dinding rahiam”.( QS: Al ‘Alaq ayat 2)
Para Ulama’ menafsirkan bahwa manusia diciptakan Allah Swt dalam keadaan selalu bergantung pada pihak lain.
Konteks ini dipertegas oleh firman Allah :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya :”Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS : Al Hujurat ayat 13)
Menurut Abul A’la al Maududi :” Kata lita’arafu pada ayat ini berarti saling berinteraksi atau saling memerlukan maksudnya bahwa manusia antara satu dengan lainnya selalu saling membutuhkan. Sebagaimana untian hikmah yang disenandumkan oleh seorang pujangga :
“Manusia adalah hamba-hamba kehidupan terikat oleh tali-tali kebutuhan yang berkelindan. Manusia terbelenggu oleh rantai-rantai kebutuhan yang kokoh mengikat denyut nadi-nadi mereka sehingga tak satupun yang dapat melepaskan diri darinya.”
Ini artinya bahwa memupuk rasa kebersamaan, merajut tali persaudaraan merupakan suatu keniscayaan yang harus kita lakukan dan jika seseorang mencoba ingin mengembangkan sifat egois, merasa dirinyayang paling hebat, beranggapan bahwa semua keberhasilan yang dicapai hanyalah merupakan karya dirinya semata sehingga ia sombong terhadap sesama, hal ini menunjukan bahwa dia telah menipu dirinya sendiri dan akan menghancurkan seluruh keberhasilan yang pernah diraihnya.
Dalam sebuah buku yang berjudul ;The Sevent Habits of Higly Efective People karangan Stephen R Covey mengatakan “ ada perubahan paradigma manusia tergantung menuju kearah bebas dan paling tinggi adalah saling ketergantungan (interdependence) antara satu dengan lainnya.Artinya bahwa tingkat yang paling tinggi adalah setiap orang tidak akan mampu hidup sendiri, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki akan membutuhkan orang lain.
Oleh karenanya menyadari akan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial zoon politicon, maka memupuk kebersamaan dan merajut tali persaudaraan merupakan suatu keniscayaan yang harus kita lakukan.
Apabila direnungkan secara mendalam maka akan kita fahami dan mengerti bahwa melalui Ritual ibadah yang hukumnya wajib maupun sunat pada bulan yang suci tersebut, Allah Swt selalu membimbing kita agar dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kebersamaan dan menjalin tali persaudaraan antar sesama, baik melalui ibadah individual, kolektif maupun ibadah sosial seperti puasa, solat tarawih berjama’ah dan memperbanyak sedekah serta membayar zakat fitra.
MA’NA SOSIAL DIBALIK RITUAL IBADAH
Bayak Ibadah yang diperintahkan untuk dilakukan oleh umat Islam baik ibadah mahdhah maupun ibadah ‘ammah mengandung makna yang sangat relefan terhadap perjalanan hidup kita sehari-hari, misalnya :
1. Puasa
Puasa merupakan ibadah fisik dan rohani, secara fisik seseorang dituntut untuk menahan kebutuhan anggota tubuhnya dari makanan dan minuman sehingga berdampak pada melemahnya stamina dan kesegaran tubuh. Rasa lemah yang diakibatkan dari lapar dan haus yang dirasakan dapat menyadarkan seseorang akan kelemahan atau ketidak berdayaan dirinya. Dengan demikian tumbuhlah rasa membutuhkan sesuatu, yang sesuatu tersebut bisa jadi tidak bisa terpenuhi tanpa adanya bantuan orang lain. Kesadaran inimembuat seseorang menjadi yakin bahwa siapapun dan kapan pun ia pasti membutuhkan orang lain untuk membantunya.
2. Solat Berjama’ah
Sebagaimana Sabda Rasul Saw bahwa solat berjama’ah lebih utama dari solat sendirian, bahkan saking utamanya Allah Swt memotivasi hambanya dengan memberikan pahala dua puluh tujuh kali lipat lebih tinggi bagi orang-orang yang menjalankan ibadah solat dengan berjama’ah.
Motivasi ini bukan hanya sekedar bertujuan untuk meningkatkan kwantitatif pahala, melainkan ada indikasi yang sangat penting dibalik perintah atau anjuran tersebut yakni agar hambanya berlomba-lomba untuk mengerjakan solat dengan berjama’ah sehingga secara alami akan terjadi inteaksi sosial positif di antara mereka dan tumbuh rasa saling membutuhkan satu sama lain.
3. Zakat, Sodaqoh dan Infaq
Di samping sebagai Ibadah kepada Allah Swt. Juga merupakan sarana untuk menumbuh kembangkan rasa solideritas terhadap sesama yakni dengan menyantuni dan atau menyalurkan sebagian rizki yang dititipkan Allah Swt. kepada sesorang untuk orang-orang yang berhak menerimanya.
4. Haji
Haji merupakan ibadah yang diwajibkan kepada setiap muslim sejak 365 tahun yang silam. Dan pada prisipnya ibadah ini merupakan aplikasi nilai-nilai kemanusiaan sehingga orang yang mengerjakan ibadah tersebut kembali mengenal jati dirinya sebagai makhluk sosial.
Makna kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilainya tidak hanya terbatas pada persamaan nilai kemanusiaan. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Ia bermulal dari kesadaran akan fitrah (jati dirinya) serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran dipentas bumi ini sebagai khalifah.
Kemanusiaan mengantarkan keturunan adam untuk menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk lainnya dalam mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarkannya untuk menyadari bahwa ia adalah makhluk dwidimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik terakhir. Kemanusiaan mengantarkannya untuk sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggang rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna di atas diperaktekan dalam pelaksanaan ibadah haji. Baik dalam acara-acara ritualataudalam tuntunan nonritualnya, dalam bentuk kewajibanatau larangan, dan dalam bentuk nyata atau simbolik. Misalnya :
Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Tidak dapat disangkal bahwa pakaian menuurut kenyataannya dan juga menurut Al Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau kelompok dengan kelompok lainnya. Pembedaan tersebut dapat membawa antara lain kepasa perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi, pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis kepada pemakainya.
Menanggalkan pakaian biasa dan menggatinya dngan duhelai pakaian berwaarna putih sebagaimana yang akan membalut tubuh ketikka mengakhiri perjalananhidup didunia ini, seorangn yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya mampu memaknai dan merasakan kelemahan dan keterbatasannya serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak dihadapan Allah Swt. yang di sisi Nya tidak ada perbedaan antara seseorang dengan yang lainnya kecuali atas dasar pengabdian kepadaNya. Sebagaimana FirmanNya :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya : “ Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
KESIMPULAN
Apabila kita mampu melaksanakan ritual ibadah dengan tulus, khusyu sesuai dengan tatacara yang tepat dan benar aserta mampu menghayatinya dengan baik maka kesadaran sosial kita akan semakin teasah dan semangat kebersamaan akan tumbuh berkembang sehingga persaudaraan akan semakin erat.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qurthuby, Al Jami’ul Ahkam Al Qur’an, Kairo, Darul Kitab, 1967
Qurays Syihab, Membumikan al Qur’an, Bandung, Mizan, 1992
Ibnu katsir, Tafsir Qur’anul ‘Azim, Singapura, Sulaiman Mar’i, tt
Cetak
0 komentar:
Posting Komentar