English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
"PANCASILA" merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. "UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945" merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. "NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA" merupakan konsensus dalam mewujudkan perjuangan bangsa Indonesia yang bersatu. "BHINNEKA TUNGGAL IKA" merupakan solusi dari kemajemukan bangsa.

Selasa, 08 Januari 2013

CEGAH PRAKTEK PUNGLI DI SEKOLAH DENGAN MEMBANGUN BUDAYA KERJA ORGANISASI




CEGAH PRAKTEK PUNGLI DI SEKOLAH
DENGAN MENGEMBANGKAN  BUDAYA KERJA ORGANISASI
Oleh
Wahardi
(Widyaiswara Muda Pusdiklat Manajemen dan Kepemimpinan MA RI)


ABSTRAKSI

Disentralisasi tidak hanya berdampak positif bagi pelayanan  pada masyarakat bidang pendidikan  akan tetapi  kelaluasaan yang diberikan pada pengelolah  lembaga pendidikan juga  mejadi  peluang bagi para oknum pejabat sekolah dan oknum guru untuk menjalankan aksi pungli melui lembaga tersebut.
Meskipun pemerintah  telah mengeluarkan  peraturan  yang jelas tentang mekanisme pemungutan dana/biaya dari siswa atau orang tua murid sebagaimana  Permen  P dan K No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, tapi praktek pungli tetap  tumbuh dengan suburnya  melalui berbagai modus operandi. Hal ini menunjukan bahwa para pelaku pungli tersebut telah mnyelahgunakan  wewenang dan mengabai  asas-asas pelayanan yang seharusnya dilakukan seperti yakni profesional, jujur, adil, transparan dan akuntabel yang merupakan  bagian dari budaya kerja aparatur pemerintah.
Pengabaian terhadap asas-asas pelayanan  tersebut mencerminkan  kurang optimalnya  fungsi lembaga  terkait dalam sosialisasi, internalisasi dan impementasi budayakerja   di satkernya. Sebab jika budaya  dikembangkan  dengan baik maka sikap dan perilaku aparatur akan terhindar dari penyimpangan  karena tugas  sehari-hari dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai organisasi yang telah disepakati dan  diyakini akan kebenarannya.
Akan tetapi perubahan budaya kerja itu terjadi tidak bisa seperti  membalik telapak tangan  karena  karakteristik perubahannya bersifat evolusioner, sangat kompleks yang memerlukan perencanaan matang dan upaya tindak lanjut yang berkesinambungan. Oleh karena itu pemerintah mengamanatkan kepada Pimpinan kementerian lembaga dan pemerintah daerah untuk segera menerbitkan  keputusan Tim Pelaksana Pengembangan Budaya Kerja,  bersama-sama Tim melakukan identifikasi nilai-nilai yang akan dikembangkan menjadi buldaya kerja, menterjemahkan nilai-nilai ke dalam bentuk perilaku utama, mengenali kemungkinan-kemungkinan penolakkan yang akan muncul,  merumuskan cara mengatasinya, melakukan sosialisasi untuk mengkomunikasikan nilai-nilai yang telah disepakati, merumuskan kriteria/ cara pengukuran keberhasilan internalisasi budaya kerja dan membentuk kelompokbudaya kkerja serta memonitoring/ evaluasi/ menindaklanjuti hasil evaluasi sebagai upaya penguatan nilai-nilai.

KATA KUNCI :

Disentralisasi ; Pungli; Regulasi; Internalisasi; Pengembangan; Monitoring

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG

Pemberlakuan sistem desentralisasi (sebagai perwujudan dari amanat Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan daerah) memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan  secara umum  termasuk di dalamnya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan.  Sebab  keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan  merupakan prestise dan citra positif bagi pemerintah  Daerah  dalam menunjukan eksistensinya di kancah nasional. Oleh karena itu  sistem disentralisasi dimanfaatkan oleh   masing-masing pemerintah daerah berkompetisi dalam  meningkatkan  kualitas pendidikan  dengan  memberikan ruang gerak  yang cukup luas bagi pengelola lembaga-lembaga pendidikan  untuk  berkreasi  guna mencapai tujuan tersebut.
Ruang gerak yang lebih bebas bagi para pemangku kebijakan dan pengelola pendidikan yang diberikan oleh sistem desentralisasi ini tidak hanya  berimplikasi positif akan tetapi  peluang tersebut  bagi  para oknum pemangku kebijakan atau oknom stakeholders  lembaga pendidikan dijadikan kesempatan untuk melakukan penyelewengan baik dari segi manajemen keuangan maupun administrasi pendidikan, seperti penyimpangan prosedur pencairan dana BOS, peruntukan dana BOS, bahkan terjadinya pungutan liar di lembaga sekolah.
Akhir-akhir ini pungutan liar di sekolah dengan berbagai modus operandi nya sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat dan hal ini sulit dicegah karena melibatkan stakeholders pada lembaga tersebut. Di antara  alasan yang sering  djadikakn tameng  dalam melancarkan aksi penyimpangan dimaksud antara lain “demi meningkatkan kualitas, untuk menambah fasilitas (sarpras) sekolah, studi tour dan sebagainya”  dan  hal  itu notabene melibatkan  komite sekolah sebagai jurus untuk memuluskan  aksi tersebut.
Menyikapi penyimpangan di atas,  maka Pemerintah melakukan upaya pencegahan terjadinya pungli di sekolah dengan menerbitkan Permen P dan K No. 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Akan tetapi  larangan tersebut   tidak memberikan solusi  terhadap  kekurangan dana yang dibutuhkan oleh lembaga pendidian   sebagai konsekwensi logis  dari  upaya mencapai standart mutu pendidikan yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Sebab pada kenyataannya biaya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah melalui BOS belum cukup menampung perkembangan kebutuhan satuan pendidikan baik yang dikelolah oleh pemerintah maupun masyarakat. Apalagi jika  dana   bantuan tersebut  disunat terlebih dahulu oleh para oknum-oknum yang berkompeten dalam memproses pencairan sebelum dana itu diterima oleh sekolah. Lalu pertanyaannya dari manakah memperoleh dana  untuk menutupi kekurangan tersebut ?
Memperhatikan   persoalan di atas maka pemerintahan menerbitkan Permen  P dan K No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Dalam Permen ini memberikan kesempatan kepada lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah dan masyarakat untuk memungut biaya sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Pasal 5 sampai dengan  Pasal 9.
Kesempatan memungut dana (sebagai mana diatur  ole  peraturan menteri diatas) kembali dimanfaatkan oleh oknum penyelenggara pendidikan  untuk melakukan praktek pungutan di luar ketentuan dimaksud, alias praktek Pungli (pungutan liar) tetap terjadi. Sebagai contoh kasus akhir-akhir ini terjadi pungli  terhadap murid-murid kelas VI SDSN (Sekolah Dasar Standar Nasional) Cibubur 11 Pagi.  Wali murid mengeluhkan adanya iuran bulanan sebesar Rp. 150.000 per siswa yang dilakukan Komite Sekolah (Suara Pembaharuan, 2012). ICW menemukan 112 pelanggaran dalam proses PPDB (Penerimaaan Peserta Didik Baru) tahun ajaran 2012-2013. Temuan itu diperoleh posko pengaduan  di  21 Kabupaten/Kota pada 7 provinsi di Indonesia. Nilai pungutan itu rata-rat di tingkat SD  Rp. 1,3 juta rupiah, tingkat SMP Rp. 2 juta rupiah, dan tingkat menengah atas Rp. 2,4 juta rupiah.
Mencermati fenomena di atas, maka kami tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah tulisan tinjauan kasus tersebut dengan judul:”   Praktek pungutan liar  Oleh oknum  guru dan pejabat di sekolah  pada  era disentralisai  (tahun 1999 - 2012)”. Dengan harapan dapat mengidentifikasi modus  operandinya dan menemukan alternatif solusi pencegahannya melalui pengembangan dan menerapan Budaya Kerja Organisasi Pemerintah..

B.   RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah Modus operandi  Pungutan liar yang dilakukan oleh oknum dan pejabat di sekolah ?
2.    Bagaimanakah pencegahan praktek pungli tersebut  melalui pendekatan Budaya Kerja  ?

C.   TUJUAN
Kajian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
1.  Untuk Mengetahui Modus operandi  Pungutan liar yang dilakukan oleh oknum dan pejabat di sekolah.
2.  Menjelaskan langkah-langkah  pencegahan Modus operandi  Pungutan liar yang dilakukan oleh oknum dan pejabat di sekolah melalui pendekatan Budaya kerja.



LANDASAN TEORI, DATA DAN ANALISA

A.   LANDASAN TEORI
1.    Budaya Kerja (Culture set).
Grand Design Reformasi Birokrasi tahun 2010 - 2025 yang tertuang dalam Kepres nomor 81 ttahun 2010 dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010–2014. Mencanangkan bahwa pada tahun 2025 diharapkan Indonesia berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara maju yang mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi  yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis serta diharapkan mampu menghadapi tantangan pada abad ke-21 melalui tata pemerintahan yang  baik, yang salah satu are yang digarap untuk tahun 2010-2014 adalah mind set dan culture set (Merubah pola pikir dan budaya kerja).
 Budaya kerja atau yang dikenal dalam Reformasi Birokrasi sebagai Culture set, secara sederhana dapat diartikan sebagai cara pandang seseorang dalam memberi makna terhadap “kerja”. Dengan demikian budaya kerja diartikan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Pada prakteknya, budaya kerja diturunkan dari budaya organisasi.
Budaya kerja merupakan suatu komitmen organisasi, dalam upaya membangun sumber daya manusia, proses kerja, dan hasil kerja yang lebih baik. Pencapaian peningkatan kualitas yang lebih baik tersebut, diharapkan bersumber dari setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri. Budaya kerja berkaitan erat dengan perilaku dalam menyelesaikan pekerjaan. Perilaku ini merupakan cerminan dari sikap kerja yang didasari oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh setiap individu. Ketika individu-individu ini masuk ke dalam sebuah organisasi, maka akan terjadi penyesuaian nilai-nilai, norma-norma, sikap dan perilaku yang dimiliki individu ke dalam nilai-nilai, norma-norma, sikap dan perilaku yang diinginkan oleh organisasi demi mencapai cita-cita atau tujuannya. Perubahan tersebut memakan waktu, menuntut komitmen,  kedisiplinan dan upaya yang luar biasa. Organisasi yang memiliki budaya kerja yang kuat akan dapat memperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini dikarenakan para pegawainya telah mengetahui dan memahami “pekerjaan apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara menyelesaikan. (Permen PAN 39 : 2012)
Pengembangan budaya kerja  yang dilaksanakan dapat dilihat pada :
a. Pemahaman terhadap makna bekerja;
b. Sikap terhadap pekerjaan atau apa yang dikerjakan;
c. Sikap terhadap lingkungan pekerjaan;
d. Sikap terhadap waktu;
e. Sikap terhadap alat yang digunakan untuk bekerja;
f.  Etos kerja; dan
g. Perilaku ketika bekerja atau mengambil keputusan. (Permen PAN 39 : 2012)

Apabila  budaya kerja diterapkan dengan benar  maka akan memberikan manfaat, baik bagi pegawai itu sendiri maupun lingkungan kerja dimana pegawai tersebut berada. Adapun manfaat budaya kerja bagi pegawai, antara lain memberi kesempatan untuk berperan, berprestasi, aktualisasi diri, mendapat pengakuan, penghargaan, kebanggaan kerja, rasa ikut memiliki dan bertanggungjawab, memperluas wawasan serta meningkatkan kemampuan memimpin dan memecahkan masalah. Manfaat budaya kerja bagi instansi, antara lain:
a.    Meningkatkan kerja sama antar individu, antar kelompok dan antarunit kerja;
b.    Meningkatkan koordinasi sebagai akibat adanya kerjasama yang baik antar individu, antar kelompok dan antar unit kerja;
c.    Mengefektifkan integrasi, sinkronisasi, keselarasan dan dinamika yang terjadi dalam organisasi;
d.    Memperlancar komunikasi dan hubungan kerja;
e.    Menumbuhkan kepemimpinan yang partisipatif;
f.     Mengeliminasi hambatan-hambatan psikologis dan kultural; dan
g.    Menciptakan suasana kerja yang menyenangkan sehingga dapat mendorong kreativitas pegawai. (Permen PAN 39 : 2012)
Inti penerapan dan pengembangan  budaya kerja dalam konteks reformasi birokrasi, secara  fundamental  bertujuan untuk membangun sumber daya manusia seutuhnya agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan sifat, peran dan komunikasi yang saling bergantung satu sama lain. Oleh karenanya, reformasi birokrasi berupaya mengubah budaya kerja saat ini, menjadi budaya yang mengembangkan sikap dan perilaku kerja yang berorientasi pada hasil (outcome) yang diperoleh dari produktivitas kerja dan kinerja yang tinggi. (Permen PAN 39 : 2012)
Di samping itu secara khusus, dalam konteks pembinaan aparatur negara dapat dikatakan bahwa pengembangan budaya kerja aparatur negara merupakan upaya dan langkah terencana secara sistematis untuk menerapkan nilai-nilai dan norma etika budaya kerja aparatur negara, dan melaksanakan secara konsisten dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan organisasi pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat termasuk dibidang pendidikan.
Agar terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat di bidang pendidikan maka dibuatlah regulasi yang memuat nilai-nilai  yang dikemas dalam peraturan perundang-undangan sebagai acuan bagi aparatur dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, antara lain  Permen  P  Dan  K Nomor 44 Tahun 2012
Pemerintah pusat dan  daerah menjamin terselenggaranya pendidikan wajib belajar sembilan tahun tanpa adanya pungutan biaya. Pungutan ini sangat membebani masyarakat dan menghambat akses masyarakat mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik. Hal inilah yang melatarbelakangi pemerintah memberlakukan Permen P dan K  No.60 tahun 2011 yaitu tentang pelarangan pungutan biaya pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Pemberlakuan Permen ini, menimbulkan persoalan-persoalan pendidikan lainnya. Seperti,  dimanfaatkannya permen ini oleh oknum yang mengatasnamakan wartawan dan LSM yang pada awalnya mereka bertujuan untuk  mengawasi pemanfaatan dana BOS, tetapi berujung pada intimidasi dan pungutan liar pada lembaga sekolah yang mereka awasi. Di sisi lain bagi lembaga pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dan beberapa sekolah yang dikelolah oleh pemerintah yang bercirikan khusus seperti RSBI mengeluh kekurangan dana operasional sehingga pendidikan di lembaga tersebut tidak dapat optimal dalam pelaksanaannya.
Mencermati hal tersebut pemerintah melalui Peraturan Menteri P dan K nomor 44 tahun 2012 membuka keran kembali bagi lembaga pendidikan untuk mengadakan pungutan biaya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Permen tersebut pasal 8, sebagai berikut :
a.    Pungutan  yang   dilakukan   oleh   satuan   pendidikan   dasar   yang diselenggarakan   oleh   masyarakat   wajib   memenuhi   ketentuan   sebagai berikut:
1)    Didasarkan   pada   perencanaan   investasi   dan/atau   operasi   yang   jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan;
2)    Perencanaan investasi dan/atau operasi sebagaimana dimaksud pada huruf a diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan satuan   pendidikan   terutama   orang   tua/wali   peserta   didik,   komite sekolah, dan penyelenggara satuan pendidikan dasar;
3)    Dana yang diperoleh dibukukan secara khusus oleh satuan pendidikan dasar   terpisah   dari   dana   yang   diterima   dari   penyelenggara   satuan pendidikan   dasar   dan   disimpan   dalam   rekening   atas   nama   satuan pendidikan dasar.
b.    Pungutan harus digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) butir b, dan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total dana   pungutan   peserta   didik   atau   orang   tua/walinya   digunakan   untuk peningkatan mutu pendidikan.
Jika pungutan biaya tidak sesuai dengan ketentuan Permen di atas, maka pungutan yang diselenggarakan suatu lembaga sekolah dapat dikatagorikan pungutan ilegal atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pungutan Liar.
2.    PRAKTEK PUNGLI DI SEKOLAH
a.    Pengertian Pungli
1)   Pengertian
Pungutan liar atau pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kegiatan pungutan liar (selanjutnya disebut pungli) bukanlah hal baru. Pungli berasal dari frasa pungutan liar yang secara etimologis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memungut bayaran/meminta uang secara paksa. Jadi pungli merupakan praktek kejahatan. Unsur-unsur perbuatannya mirip dengan unsur perbuatan pencurian (vide. Pasal 362 KUHP).
Sungguh sangat ironis permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan ini. Di tengah-tengat gencarnya upaya pemberantasan buta huruf melalui program wajib sekolah sembilan tahun dan tanpa dipungut biaya bagi kalangan tertentu, nyatanya masih banyak lembaga pendidikan tertentu yang akrab dengan budaya pungutan liar. Alih-alih peningkatan kualitas. Padahal menuntut ilmu secara formal merupakan sektor strategis dan kunci bagi bangsa ini untuk menapakkan kaki ke arah kehidupan bangsa yang lebih baik.

Banyaknya pungutan liar di sekolah, terjadi karena tidak terbukanya sistem pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Padahal, untuk jenjang sekolah SD dan SMP, tidak diperkenankan memungut biaya apa pun yang terkait untuk biaya operasional sekolah karena sudah ada Bantuan Operasional Siswa (BOS).


2)     Modus Pungutan Liar di Dunia Pendidikan
a)    Pungutan Liar di Sekolah
Pungutan liar biasanya dijumpai pada awal ajaran baru. Contohnya pasca penerimaan murid baru di tingkat SD dan SMP marak terjadi di beberapa daerah. Besarnya pungutan beragam mulai dari 450 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah. Hal itu terungkap ketika puluhan orang tua murid mengadukan adanya pungutan liar ke Posko Pengaduan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dibuka Indonesia Corruption Watch (ICW) di beberapa daerah.
Pungutan liar tersebut, biasanya banyak terjadi setelah siswa diterima di sekolah, bukan pada saat proses penerimaan siswa baru. Bentuk pungutan tersebut dapat bermacam-macam, mulai dari uang bangunan, uang buku, uang bangku,uang studi tour bahkan  uang pensiun guru,  dan sebagainya.
Selain melalui PPDB  (Penerimaan Peserta Didik Baru), modus pungli pun beragam. Seperti di beberapa sekolah dasar di Karawang, pungli dilakukan beberapa guru dengan mengadakan les tambahan  mata pelajaran yang di UN-kan, mulai dari kelas III sampai kelas IV, setiap siswa dibebankan iuran Rp. 100.000 per bulan untuk setiap mata pelajaran. Kenapa ini disebut pungli ? Karena guru tersebut seperti sengaja tidak menerangkan KD yang seharusnya siswa terima jam mereka mengajar. Padahal mereka sudah mendapatkan sertifikasi dan kesejateraan PNS dari pemerintah. Sekolah tidak melakukan tindakan tegas, terhadap pelanggaran ini.
Tidak berhenti sampai disini, biaya alat-alat kebersihan kelas dan ATK (Alat Tulis kantor) dibebankan ke siswa, padahal   seharusnya dana ini dibiayai oleh Dana BOS. Entah Dana BOS yang tidak mencukupi operasional sekolah atau karena terhambat proses pencairannya bahkan mungkin dan BOS nya  tidak memadahi lagi sebab sudah disunat oleh “Bos ” alias oknum pemamngku kebijakan di lembaga terkait.
Data-data di atas hanyalah segelintir kasus pungli di sekolah yang  diungkap pada tulisan ini, ibarat fenomena gunung es yang tanpak kepermukaan  hanya bagian puncaknya saja sementara  lereng dan  kakinya tertancap dengan kokoh pada bidang yang lebih besar dan teramat luas.
Praktek  Pungutun  liar yang sering terjadi di sekolah melalui berbagai modus antara lain :
·           Ketika PPDB, sekolah  meminta biaya tes, pembelian formulir dan lainnya.
·           Sekolah meminta dana sebagai syarat  lulus tes (membeli kursi).
·           Penambahan atau perbaikan fasilitas sekolah, buku-buku, seragam sekolah, bahkan untuk kegiatan yang diselenggarakan untuk menyambut siswa baru dan lain-lain.
·           Memungut biaya untuk fasilitas kelengkapan kelas.
·           Memungut  dana dari  siswa sebagai biaya les tambahan di luar jam belajar.     
·           Dan banyak lagi modus-modus pungli lainnya.

b.    Pungutan Liar oleh Oknum Pemerintahan.
Menurut Febri Hendri, peneliti senior ICW ( Kompas, 1/10/2011), perubahan mekanisme penyaluran dana BOS membuka peluang penyelewengan yang masif. Dana Bos masuk ke kas pemerintah provinsi bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik daerah, misalnya dipergunakan untuk pemilihan kepala daerah. Selain itu hubungan yang tidak harmonis antara pemerintahan provinsi dan daerah menjadi faktor penghambat macetnya penyaluran. Pasalnya ada kemungkinan pemerintah provinsi menahan penyaluran dana untuk menekan agar   pemerintahan kabupaten mengikuti aturan main gubernur.  Hal ini yang menyebabkan dana BOS terlambat disalurkan ke lembaga  sekolah. Keterlambatan ini pun sering dijadikan tameng  untuk  memungut biaya di luar ketentuan baik  di  lembaga pendidikan maupun di lembaga pemerintahan.
Selain dana BOS oknum di lembaga pemerintahan seringkali memungut biaya kepada lembaga pendidikan. Baik melalui proses akreditasi, sertifikasi guru, mark up , dan lain sebagainya.
Koran Sindo (17 September 2012), memberitakan suatu kasus Pungutan liar (pungli) yang  menodai dunia pendidikan di Kabupaten Garut. Sejumlah guru yang sedang mengikuti ujian sertifikasi ulang, pungli dengan modus dana pinjaman koperasi guru di kecamatan. Seorang guru yang enggan menyebutkan sekolah tempatnya mengajar, Engkus mengaku  pungutan tersebut dilakukan langsung oleh oknum pegawai Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Garut. Dengan dalih untuk simpanan koperasi guru diwajibkan mencicilnya dengan cara dipotong gaji.
Selain kasus di atas, pada saat sekolah melaksanakan akreditasi, seringkali assesor meminta lebih dari haknya, sekolah seperti tidak bisa menolak karena hubungannya dengan nilai akreditasi yang akan mereka dapatkan. Pertanyaan assesor di luar pertanyaan yang seharusnya, seringkali dijadikan alat untuk memberi tekanan kepada pihak sekolah untuk memberikan “sesuatu” di luar ketentuan. Atau bahkan karena lumrahnya hal di atas, sekolah seperti enggan mempersiapkan akreditasi ini dengan matang  karena mereka bisa “membeli nilai” dengan hanya mengisi uang saku pengawas dengan sejumlah uang yang tidak sedikit.
Tidak berhenti sampai di situ, masih banyak  lagi pungutan-pungutan lain yang direkayasa sehingga tampak seperti bukan pungutan, melalui mark up pengadaan barang misalnya, di suatu kabupaten di Jawa Barat kalender pendidikan dihargai Rp.10.000/lembar, komputer untuk Dapodik yang dihargai Rp.9.500.000 dengan spesifikasi komputer China. Miris melihat kenyataan  pendidikan di Indonesia ini, dimana pungli sudah merajalela dan korup menjadi budaya, menyunat anggaran menjadi biasa.     
Dari beberapa kasus pungli di atas dapat penulis simpulkan, bahwa pungutan liar ini dari hulu ke hilir, dari pemerintah pusat sampai ke lembaga pendidikan, seperti sudah biasa di dunia pendidikan yang  notabene tempat lahirnya generasi unggulan bangsa, dimana  karakter bangsa ditempa.
     
3)    Dampak dari Pungutan Liar di Dunia Pendidikan
Adapun dampak dari merebaknya pungutan liar ini adalah sebagai berikut :
a)    Menurunnya public trust kepada pemerintah dalam hal ini adalah kemendikbud, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan;
b)     Merebaknya “budaya” korup di dunia pendidikan  yang semestinya mengajarkan nilai-nilai kerakter kebangsaan;
c)     Terhambatnya akses orang miskin memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas;
d)     Dana BOS akan semakin tidak efektif dan efisien;
e)     Pungli dimanfaatkan oleh lembaga lain salah satunya adalah “LSM” yang notabene sebagai “pengawas “, berbalik arah menjadi pemeras bahkan mengintimidasi satuan pendidikan.

B.   DATA DAN ANALISA
1.    Praktek Pungli di Sekolah ditinjau dari aspek Administrasi dan Manajemen
Persoalan pungli di dunia pendidikan tidak hanya persoalan mekanisme dana BOS,  keterlambatan dan penyunatan dana BOS, tetapi juga BOS ini dijadikan mata pencaharian oknum kepala sekolah. Dugaan ini dikatakan aktivis Gerakan Rakyat Berjuang (GRB) Kabupaten Palas, Mardan Hanafi Hasibuan SH, Kamis (20/9).  Alasannya, banyak ditemukan sekolah penerima bantuan dana BOS, alat tulis kantornya tidak ada. Bahkan, untuk kebutuhan kapur dan peralatan sekolah pun tidak ada, padahal dana BOS cukup besar jumlahnya yang dialokasikan setiap triwulannya. Kadis Pendidikan Palas, Khoiruddin Harahap mengutarakan, dana BOS untuk keseluruhan tingkat SD dan SMP setiap triwulannya sebanyak Rp 6,9 miliar, dan tujuannya agar terwujudnya pendidikan yang berkualitas dan bersih serta gratis.Kenyataannya anggaran 20 persen untuk pendidikan  itu banyak dijadikan oknum pejabat di lingkungan Kemendikbud dan Kemenag sebagai objek mata pencaharian. Sehingga tidak heran banyak pegawai di lingkungan Disdikbud berlomba-lomba menjadi Kasek.
Modus operandi penyelewengan tersebut dilakukan secara sistematis oleh  oknum kepala sekolah dengan memerintahkan bawahannya untuk membuat laporan dana penggunaan BOS yang direkayasa. Istilah “kwitansi kosong” sudah biasa dilakukan sekolah pada saat transaksi  pengadaan suatu barang. Sehingga mark up harga suatuan  barang pun terjadi pada saat pembuatan laporan BOS ini.  Laporan dibuat, supaya pemerintah dapat mengontrol penggunaan dana BOS dan menjadikan laporan sebagai bahan evaluasi  pelaksananan  program tersebut.   Prinsip pelaporan “asal ada” dan  laporan yang direkayasa menyebabkan pemerintah menarik kesimpulan yang kurang tepat, dan  menganggap bahwa program ini berjalan lancar seperti tidak ada masalah padahal kenyataannya berkata lain.
Terjadinya penyimpangan penggunaan dana BOS  di luar peruntukannya, apakah untuk memberi oknum pejabat yang berkopenten dalam prosedur pencairan dana BOS  pada instansi terkait atau disalah gunakan oleh pihak sekolah untuk kepentingan pribadi/ kelompok,  yang jelas sebagai konsekwensi logisnya adalah  menuntut para pengelola lembaga pendidikan untuk mencari dana dari sumber lain guna  membeli kebutuhan opersional sekolah, hal inilah merupakan salah satu faktor penyebab terjadi pungli di lingkungan sekolah  selain faktor-faktor lain yakni  mental korup yang ada bersemayam di dalam diri oknum-oknum yang bersangkutan.
Uraian di atas menunjukan bahwa terjadinya praktek pungli disebabkan oleh beberapa faktor yang secara general dapat dibagi dua yaitu;
a.    Faktor internal
Faktor internal ini melibatkan  steak holders di sekolahan (oknum  pegawai/karyawan sekolah, guru, kepala sekolah maupun Komite sekolah), mekanisme pelaksanaannya  bisa bersifat individu/personal maupun  berjamaah yang terorganisir rapi.  secara individu biasanya  dilaksanakan oleh seorang guru  dengan sengaja dan terencana tidak mengajarkan  materi tertentu yang seharusnya harus diajarkan dengan tujuan agar para siswa membutuhkan privat atau les tambahan yang melibatkan guru yang bersangkutan, dan saat itulah modus pungutan liar beroprasi. Sedangkan cara berjama’ah dikoordinir DENGAN rapi dan sistematis oleh oknum  pejabat  sekolah yang melibatkan  para guru, komite sekola untuk menggali dana dari siswa atau orang tua murid  dengan berbagai modus dan alasan serta tujuan misalnya :
·           Ketika PPDB, sekolah  meminta biaya tes, pembelian formulir dan lainnya.
·           Sekolah meminta dana sebagai syarat  lulus tes (membeli kursi).
·           Penambahan atau perbaikan fasilitas sekolah, buku-buku, seragam sekolah, bahkan untuk kegiatan yang diselenggarakan untuk menyambut siswa baru dan lain-lain.
·           Memungut biaya untuk fasilitas kelengkapan kelas.
·           Memungut  dana dari  siswa sebagai biaya les tambahan di luar jam belajar.    
Dan banyak lagi modus-modus pungli lainnya.
Terlepas dari alasannya dapat diterima atau tidak itulah sebagian dari cara yang dilakukan oleh para oknum untuk memungut  dana  dari para siswa/ wali murid.
Pemungutan dana tersebut sebenarnya sah-sah saja jika  dilakukan sesuai ketentuan dalam permen P dan K nomor 44 tahun 2012 yakni berdasarkan perencanaan tahunan  diluar biaya operasional, dikelola dan dipegunakan sesuai peruntukan berdasarkan rencana serta dipertanggungjawabkan  secara transparan. Namun praktek dilapangan  ternyata berbeda, pungutan  yang dilakukan tidak melalui perencanaan yang dibahas oleh steak holders sekolah dan  tidak sampaikan kepada  kementerian terkait sebagai informasi rencana anggaran tahunan serta dana yang terkumpul dari hail pemungutan dipergunakan untuk  berbagai keparluan baik pribadi, kelompok atau biaya operasional yang seharusnya tidak diperbolehkan.
b.    Faktor Eksternal
Penyunatan dana BOS yang sering dilakukan oleh para oknum pemangku kebijakan di lingkungan kementerian pendidikan dan pemda setempat   membuat para pengelola pendidikan mengabil langkah sepihak untuk menutupi kekurangan dana operasional sekolah melalui pemungutan dana dari siswa/ wali murid. Semestinya hal tersebut tidak semestinya terjadi sebab mekanisme  pencairan BOS administrasi telah diatur.
Merujuk pada uraian di atas dapat di fahami bahwa secara regulasi yang telah ditetapkan pemerintah tentang  mekanisme pencairan dana BOS dan  Peraturan  yang berkenaan dengan  pungutan dana dari para siswa sebagaimana permen P dan K nomor 44 tahun 2012  belum juga mampu mencegah terjadinya pungutan liar baik yang dilakukan oleh oknum pemangku kebijakan di instansi terkait maupun di sekolah.
Praktek ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar pelayanan prima  yang harus dilakukan oleh aparatur negara bahkan lebih jauh  lagi pungli dapat dikatagorikan sebagai bentuk gratifiksi atau korupsi.  Dengan berbagai modus operandi yang dilakukan oleh para oknum tersebut secara sengaja mereka  telah menciderai jalannya reformasi birokrasi khususnya dalam pelaksanaan 8 (delapan)  area perubahan reformasi birokrasi khususnya area mind set dan culture set.
Seharusnya  de era reformasi birokrasi  jilid dua ini aparatur pemerintah sudah menerapkan nilai-nilai  dan budaya organiasi pemerintah secara konsisten dan konsekwen dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Dan implementasi nilai-nilai    tersebut dalam sikap aparatur  saat melaksanakan tugas sehari-hari inilah yang disebut dengan budaya kerja.
Sebab aktualisasi dari budaya kerja  itu akan mewujudkan
a.    Pemahaman terhadap makna bekerja;
Bekerja merupakan ibadah kepada Tuhan yang telah menciptakan dan Pengab dian kepada negara untuk mewujudkan kemakmuran bangsa yang menjadi cita-cita perjuangan dari the founding father sebgaimana yang tertuang  pada priambule UUD 1945.
b.    Sikap terhadap pekerjaan atau apa yang dikerjakan;
Karena pekerjaan adalah ibadah maka  seharusnya dilaksanakan dengan benar berdasarkan  ketentuan yang telah ditetapkan.
c.    Sikap terhadap lingkungan pekerjaan;
Keberhasilan bekerja tidak datang dengan sendirinya tanpa kontribusi lingkungan sekitarnya, oleh karena itu meciptakan kondisi yang kondusif di tempat kerja merupakan suatu keniscayaan agar  terciptanya sinegitas tinggi dalam mencapai tujuan yang ditentukan.
d.    Sikap terhadap waktu;
Meskipun setiap individu dalam menjalani kehidupan sama-sama memiliki waktu 24 jam sehari manun kwalitas  masing-masing akan berbeda sesuai dengan  untuk apa waktu itu digunakan, oleh karena itu aparatur yang cerdas akan selalu menghargai waktu  dengan  pekerjaan atau tindakan yang bermanfaat.
e.    Sikap terhadap alat yang digunakan untuk bekerja;
Peralatan akan dapat mendukung kesuksesan pekerjaan seseorang jika operatornya familiear (tahu cara penggunaan, menggunakan dengan benar dan merawatnya dengan baik) Oleh karena itu  seorang aparatur hendaknya selalu mengupdate diri dengan peralatan yang selalu perkembangan dari waktu ke waktu.
f.     Etos kerja; dan                                                                    
Etos kerja berfungsi sebagai pendorong atau penggerak terbangunnya perilaku kerja yang diinginkan, dan etos kerja ini dibentuk oleh nilai budaya kerja sehingga apabila pelaksanaan pengembangan budaya kerja di dalam suatu organisasi berlangsung dengan baik maka kan terlahirlah aparatur yang memiliki etos kerja yang tinggi.

g.    Perilaku ketika bekerja atau mengambil keputusan.
Apartur negara  harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagai masyarakatnya, untuk itu strategi pelayanan, sikap dalam menghadapi hambatan dalam pelayanan harus dilakukan secara terencana terprogram dengan baik berdasarkan  hasil kajian yang mendalam dengan berbagai pertimbangan  yang komprehensif dan keputusan yang bijaksana.
Apabila  nilai budaya kerja tersebut  telah teriternalisasi dan teraktualisasi menjadi sifat dan sikap dalam menjalankan tugas maka pungli si seklah tidak akan terjadi karena seorang aparatur yang telah diberi tanggung jawab sebagai pelayanan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebab  mereka akan selalu dikawal dengan nilai-nilai luhur yang  telah menyatu dengan dirinya sehingga rasa mempertanggungjawabkan  atas segala kegiatan itu terhubung pada horizontal dan fertikal.






KESIMPULAN DAN SARAN

A.   KESIMPULAN
1.    Setelah mencermati berbagai informasi yang  dihimpun baik melalui berbagai media maka dapat disimpulkan bahwa Modus dilakukan oleh para oknum guru dan oknum Pejabat di sekolah antara lain adalah;
·           Ketika PPDB, sekolah  meminta biaya tes, pembelian formulir dan lainnya.
·           Sekolah meminta dana sebagai syarat  lulus tes (membeli kursi).
·           Penambahan atau perbaikan fasilitas sekolah, buku-buku, seragam sekolah, bahkan untuk kegiatan yang diselenggarakan untuk menyambut siswa baru dan lain-lain.
·           Memungut biaya untuk fasilitas kelengkapan kelas.
·           Memungut  dana dari  siswa sebagai biaya les tambahan di luar jam belajar.    

2.    Setelah diketahui  beberapa modus operandi dari praktek pungli sebagaimana dimaksud  di atas maka dapat kita fahami bahwa terjadinya hal tersebut karena  lemahnya komitmen “oknum guru/ pejabat sekolah” terhadap tugas pelayanan yang seharusnya diberikan secara profesional, tansparan dan akuntabel. Dan hal ini  menunjukan bahwa pengembangan dan internalisasi budaya kerja  pada unit kerja  tersebut belum optimal.
Tidak terinternalisasinya nilai-nilai budaya organisasi kedalam  diri seseorang  pegawai/karyawan  akan melahirkan sikap dan prilaku yang tidak sejalan  bahkan  bisa menyimpang dari tujuan organisasi. Oleh karena itu sudah seharusnya para pemangku kebijakan disetiap unit kerja  melakukan pengembangan  budaya kerja dilingkungan masing-masing sesuai dengan amanat Peraturan Menteri PAN dan Reformasi Birokrai nomor 39 tahun 2012 tentang  Pedoman Pengembangan Budaya Kerja.
B.   SARAN
Sebaik apapun  konsep, teori maupun peraturan, jika tidak ditindaklanjuti dengan  pelaksanaan/implementasi sama halnya dengan menumpuk dokumen  berharga tapi tidak berguna, oleh karena itu  Permen PAN nomor 39 tahun 2012 ini harus ditindak lanjuti  oleh seluruh instansi pemerintah.
Untuk memastikan keberhasilan pengembangan budaya kerja, telah dijelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses tersebut. Agenda tindak lanjut yang harus dipersiapkan oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah:
1.  Pimpinan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah:
a. Membuat Surat Keputusan Tim Pelaksana Pengembangan Budaya Kerja (bila Tim Manajemen Perubahan dalam Reformasi Birokrasi belum dibentuk);
b. Menambahkan tugas mengenai Pengembangan Budaya Kerja pada Tim Manajemen Perubahan (bila Tim Manajemen Perubahan dalam Reformasi Birokrasi telah dibentuk).
2. Pimpinan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah,bersama Tim:
a. Mengidentifikasi nilai-nilai yang akan dikembangkan menjadi budaya kerja;
b.  Menerjemahkan nilai-nilai ke dalam bentuk perilaku utama;
c. Mengenali kemungkinan-kemungkinan penolakan yang akan muncul dan merumuskan alternatif cara mengatasi;
d.  Melakukan sosialisasi untuk mengomunikasikan nilai-nilai yang telah disepakati;
e Merumuskan kriteria dan cara pengukuran keberhasilan internalisasi budaya kerja;
f. Membentuk kelompok-kelompok budaya kerja; dan
g. Melakukan monitoring dan evaluasi serta menindaklanjuti hasil evaluasi sebagai proses penguatan nilai-nilai.
DAFTAR PUSTAKA

Soedijarto, 2008, Landasarn dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Kompas, Jakarta.
Siroji, M, 2010, Politik Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Mukhyi, Muhammad Abdul., Imam Hadi Saputro (1995). Pengantar Manajemen Umum (Untuk STIE). Jakarta: Universitas Gunadarma.
Kementerian PAN, 2012, Peraturan Menteri pendayagunaan aparatur negara Dan reformasi birokrasi republik indonesia Nomor 39 tahun 2012 Tentang Pedoman pengembangan budaya kerja
Kemendiknas, 2011, Kebijakan Pemerintah Program Bantuan Operasional Sekolah Tahun 2011
Permendikbud No. 44 tahun 2012
Permendikbud No. 60 Tahun 2011
Pidato Presiden RI, 2012, Kebijakan RAPBN Pendidikan 2012
Neneng Jubaedah, 2011, www. okezone.com
Inggried Dwi Wedhaswa, 2012, http://edukasi.kompas.com
Febri Hendri A.A, 2011, Kritik atas Kebijakan Dana BOS 2011, ICW, 2011
Fani Ferdiansyah, 17 September 2012,  Ujian sertifikasi guru sarat pungli, Koran Sindo


















print this page Cetak

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 

Roam to Rome Blog- Moving to Italy, Travel, Studying in Italy.