CEGAH
PRAKTEK PUNGLI DI SEKOLAH
DENGAN
MENGEMBANGKAN BUDAYA KERJA ORGANISASI
Oleh
Wahardi
(Widyaiswara
Muda Pusdiklat Manajemen dan Kepemimpinan MA RI)
ABSTRAKSI
Disentralisasi tidak hanya
berdampak positif bagi pelayanan pada
masyarakat bidang pendidikan akan
tetapi kelaluasaan yang diberikan pada
pengelolah lembaga pendidikan juga mejadi
peluang bagi para oknum pejabat sekolah dan oknum guru untuk menjalankan
aksi pungli melui lembaga tersebut.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan peraturan
yang jelas tentang mekanisme pemungutan dana/biaya dari siswa atau orang
tua murid sebagaimana Permen P dan K No. 44 Tahun 2012 tentang Pungutan
dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, tapi praktek
pungli tetap tumbuh dengan suburnya melalui berbagai modus operandi. Hal ini
menunjukan bahwa para pelaku pungli tersebut telah mnyelahgunakan wewenang dan mengabai asas-asas pelayanan yang seharusnya dilakukan
seperti yakni profesional, jujur, adil, transparan dan akuntabel yang
merupakan bagian dari budaya kerja
aparatur pemerintah.
Pengabaian terhadap asas-asas
pelayanan tersebut mencerminkan kurang optimalnya fungsi lembaga terkait dalam sosialisasi, internalisasi dan
impementasi budayakerja di satkernya.
Sebab jika budaya dikembangkan dengan baik maka sikap dan perilaku aparatur
akan terhindar dari penyimpangan karena
tugas sehari-hari dilaksanakan sesuai
dengan nilai-nilai organisasi yang telah disepakati dan diyakini akan kebenarannya.
Akan tetapi perubahan budaya
kerja itu terjadi tidak bisa seperti
membalik telapak tangan
karena karakteristik perubahannya
bersifat evolusioner, sangat kompleks yang memerlukan perencanaan matang dan
upaya tindak lanjut yang berkesinambungan. Oleh karena itu pemerintah
mengamanatkan kepada Pimpinan kementerian lembaga dan pemerintah daerah untuk
segera menerbitkan keputusan Tim
Pelaksana Pengembangan Budaya Kerja,
bersama-sama Tim melakukan identifikasi nilai-nilai yang akan
dikembangkan menjadi buldaya kerja, menterjemahkan nilai-nilai ke dalam bentuk
perilaku utama, mengenali kemungkinan-kemungkinan penolakkan yang akan muncul, merumuskan cara mengatasinya, melakukan
sosialisasi untuk mengkomunikasikan nilai-nilai yang telah disepakati,
merumuskan kriteria/ cara pengukuran keberhasilan internalisasi budaya kerja
dan membentuk kelompokbudaya kkerja serta memonitoring/ evaluasi/
menindaklanjuti hasil evaluasi sebagai upaya penguatan nilai-nilai.
KATA
KUNCI :
Disentralisasi ; Pungli;
Regulasi; Internalisasi; Pengembangan; Monitoring
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pemberlakuan sistem
desentralisasi (sebagai perwujudan dari amanat Undang-Undang No.22 Tahun 1999
tentang otonomi pemerintahan daerah) memiliki dampak yang cukup signifikan
terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan
secara umum termasuk di dalamnya manajemen
pengelolaan lembaga pendidikan. Sebab keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan merupakan prestise dan citra positif bagi
pemerintah Daerah dalam menunjukan eksistensinya di kancah
nasional. Oleh karena itu sistem
disentralisasi dimanfaatkan oleh masing-masing
pemerintah daerah berkompetisi dalam meningkatkan
kualitas pendidikan dengan memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi pengelola
lembaga-lembaga pendidikan untuk berkreasi
guna mencapai tujuan tersebut.
Ruang gerak yang
lebih bebas bagi para pemangku kebijakan dan pengelola pendidikan yang diberikan
oleh sistem desentralisasi ini tidak hanya
berimplikasi positif akan tetapi peluang tersebut bagi
para oknum pemangku kebijakan atau oknom stakeholders lembaga
pendidikan dijadikan kesempatan untuk melakukan penyelewengan baik dari segi
manajemen keuangan maupun administrasi pendidikan, seperti penyimpangan
prosedur pencairan dana BOS, peruntukan dana BOS, bahkan terjadinya pungutan
liar di lembaga sekolah.
Akhir-akhir ini pungutan
liar di sekolah dengan berbagai modus operandi nya sudah menjadi rahasia umum bagi
masyarakat dan hal ini sulit dicegah karena melibatkan stakeholders pada lembaga tersebut. Di antara alasan yang sering djadikakn tameng dalam melancarkan aksi penyimpangan dimaksud
antara lain “demi meningkatkan kualitas, untuk menambah fasilitas (sarpras)
sekolah, studi tour dan sebagainya”
dan hal itu notabene melibatkan komite sekolah sebagai jurus untuk
memuluskan aksi tersebut.
Menyikapi
penyimpangan di atas, maka Pemerintah
melakukan upaya pencegahan terjadinya pungli di sekolah dengan menerbitkan
Permen P dan K No. 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan
Pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Akan tetapi larangan tersebut tidak memberikan solusi terhadap
kekurangan dana yang dibutuhkan oleh lembaga pendidian sebagai konsekwensi logis dari
upaya mencapai standart mutu pendidikan yang telah dicanangkan oleh
pemerintah. Sebab pada kenyataannya biaya pendidikan yang diberikan oleh
pemerintah melalui BOS belum cukup menampung perkembangan kebutuhan satuan
pendidikan baik yang dikelolah oleh pemerintah maupun masyarakat. Apalagi
jika dana bantuan tersebut disunat terlebih dahulu oleh para oknum-oknum
yang berkompeten dalam memproses pencairan sebelum dana itu diterima oleh
sekolah. Lalu pertanyaannya dari manakah memperoleh dana untuk menutupi kekurangan tersebut ?
Memperhatikan persoalan di atas maka pemerintahan
menerbitkan Permen P dan K No. 44 Tahun
2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar.
Dalam Permen ini memberikan kesempatan kepada lembaga pendidikan yang dikelola
pemerintah dan masyarakat untuk memungut biaya sesuai dengan ketentuan yang
diatur oleh Pasal 5 sampai dengan Pasal
9.
Kesempatan memungut
dana (sebagai mana diatur ole peraturan menteri diatas) kembali dimanfaatkan
oleh oknum penyelenggara pendidikan
untuk melakukan praktek pungutan di luar ketentuan dimaksud, alias
praktek Pungli (pungutan liar) tetap terjadi. Sebagai contoh kasus akhir-akhir
ini terjadi pungli terhadap murid-murid
kelas VI SDSN (Sekolah Dasar Standar Nasional) Cibubur 11 Pagi. Wali
murid mengeluhkan adanya iuran bulanan sebesar Rp. 150.000 per siswa yang
dilakukan Komite Sekolah (Suara Pembaharuan, 2012). ICW
menemukan 112 pelanggaran dalam proses PPDB (Penerimaaan Peserta Didik Baru)
tahun ajaran 2012-2013. Temuan itu diperoleh posko pengaduan di 21 Kabupaten/Kota
pada 7 provinsi di Indonesia. Nilai pungutan itu rata-rat di tingkat SD Rp. 1,3 juta rupiah, tingkat SMP Rp. 2 juta
rupiah, dan tingkat menengah atas Rp. 2,4 juta rupiah.
Mencermati fenomena
di atas, maka kami tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah
tulisan tinjauan kasus tersebut dengan judul:” Praktek pungutan liar Oleh oknum
guru dan pejabat di sekolah
pada era disentralisai (tahun 1999 - 2012)”. Dengan harapan
dapat mengidentifikasi modus operandinya
dan menemukan alternatif solusi pencegahannya melalui pengembangan dan
menerapan Budaya Kerja Organisasi Pemerintah..
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
Modus operandi Pungutan liar yang dilakukan
oleh oknum dan pejabat di sekolah ?
2.
Bagaimanakah
pencegahan praktek pungli tersebut melalui pendekatan Budaya Kerja ?
C. TUJUAN
Kajian ini dibuat
dengan tujuan sebagai berikut :
1. Untuk
Mengetahui Modus operandi Pungutan liar
yang dilakukan oleh oknum dan pejabat di sekolah.
2. Menjelaskan
langkah-langkah pencegahan Modus
operandi Pungutan liar yang dilakukan
oleh oknum dan pejabat di sekolah melalui pendekatan Budaya kerja.
LANDASAN TEORI, DATA
DAN ANALISA
A.
LANDASAN
TEORI
1. Budaya Kerja (Culture set).
Grand Design Reformasi Birokrasi tahun 2010 - 2025 yang tertuang dalam Kepres
nomor 81 ttahun 2010 dan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map
Reformasi Birokrasi 2010–2014. Mencanangkan bahwa pada tahun 2025
diharapkan Indonesia berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara
maju yang mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu pemerintahan yang
profesional dan berintegritas tinggi
yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan
manajemen pemerintahan yang demokratis serta diharapkan mampu menghadapi tantangan
pada abad ke-21 melalui tata pemerintahan yang
baik, yang salah satu are yang digarap untuk tahun 2010-2014 adalah mind set dan culture set (Merubah pola pikir
dan budaya kerja).
Budaya kerja atau yang dikenal dalam Reformasi
Birokrasi sebagai Culture set, secara
sederhana dapat diartikan sebagai cara pandang seseorang dalam memberi makna
terhadap “kerja”. Dengan demikian budaya kerja diartikan sebagai sikap dan
perilaku individu dan kelompok yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas
dan pekerjaan sehari-hari. Pada prakteknya, budaya kerja diturunkan dari
budaya organisasi.
Budaya kerja merupakan suatu
komitmen organisasi, dalam upaya membangun sumber daya manusia, proses kerja,
dan hasil kerja yang lebih baik. Pencapaian peningkatan kualitas yang lebih
baik tersebut, diharapkan bersumber dari setiap individu yang terkait dalam
organisasi kerja itu sendiri. Budaya kerja berkaitan erat dengan perilaku
dalam menyelesaikan pekerjaan. Perilaku ini merupakan cerminan dari sikap kerja
yang didasari oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh setiap
individu. Ketika individu-individu ini masuk ke dalam sebuah organisasi,
maka akan terjadi penyesuaian nilai-nilai, norma-norma, sikap dan perilaku yang
dimiliki individu ke dalam nilai-nilai, norma-norma, sikap dan perilaku yang
diinginkan oleh organisasi demi mencapai cita-cita atau tujuannya. Perubahan tersebut memakan waktu, menuntut
komitmen, kedisiplinan dan upaya yang
luar biasa. Organisasi yang memiliki budaya kerja yang kuat akan dapat
memperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini dikarenakan para pegawainya telah
mengetahui dan memahami “pekerjaan apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara
menyelesaikan. (Permen PAN 39 : 2012)
Pengembangan budaya kerja yang dilaksanakan dapat dilihat pada :
a. Pemahaman terhadap makna bekerja;
b. Sikap terhadap pekerjaan atau apa yang dikerjakan;
c. Sikap terhadap lingkungan pekerjaan;
d. Sikap terhadap waktu;
e. Sikap terhadap alat yang digunakan untuk bekerja;
f. Etos kerja; dan
g. Perilaku ketika bekerja atau mengambil
keputusan. (Permen PAN 39 : 2012)
Apabila budaya kerja diterapkan
dengan benar maka akan memberikan
manfaat, baik bagi pegawai itu sendiri maupun lingkungan kerja dimana pegawai
tersebut berada. Adapun manfaat budaya kerja bagi
pegawai, antara lain memberi kesempatan untuk berperan, berprestasi,
aktualisasi diri, mendapat pengakuan, penghargaan, kebanggaan kerja, rasa ikut
memiliki dan bertanggungjawab, memperluas wawasan serta meningkatkan kemampuan
memimpin dan memecahkan masalah. Manfaat
budaya kerja bagi instansi, antara lain:
a. Meningkatkan kerja sama antar
individu, antar kelompok dan antarunit kerja;
b. Meningkatkan koordinasi sebagai akibat
adanya kerjasama yang baik antar individu, antar kelompok dan antar unit kerja;
c. Mengefektifkan integrasi, sinkronisasi, keselarasan dan dinamika yang terjadi dalam organisasi;
d. Memperlancar komunikasi dan hubungan kerja;
e. Menumbuhkan kepemimpinan yang partisipatif;
f. Mengeliminasi hambatan-hambatan psikologis dan kultural; dan
g. Menciptakan suasana kerja yang menyenangkan sehingga dapat mendorong kreativitas pegawai. (Permen PAN 39 : 2012)
Inti penerapan
dan pengembangan budaya kerja dalam
konteks reformasi birokrasi, secara fundamental bertujuan untuk membangun sumber daya manusia
seutuhnya agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu hubungan
sifat, peran dan komunikasi yang saling bergantung satu sama lain. Oleh
karenanya, reformasi birokrasi berupaya mengubah budaya kerja saat ini,
menjadi budaya yang mengembangkan sikap dan perilaku kerja yang berorientasi
pada hasil (outcome) yang diperoleh dari produktivitas kerja dan kinerja
yang tinggi. (Permen PAN 39 : 2012)
Di samping itu secara khusus, dalam konteks pembinaan aparatur
negara dapat dikatakan bahwa pengembangan budaya kerja aparatur negara merupakan upaya dan langkah terencana
secara sistematis untuk menerapkan nilai-nilai dan norma etika budaya kerja
aparatur negara, dan melaksanakan secara konsisten dalam pelaksanaan tugas
penyelenggaraan organisasi pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
termasuk dibidang pendidikan.
Agar terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat di bidang
pendidikan maka dibuatlah regulasi yang memuat nilai-nilai yang dikemas dalam peraturan
perundang-undangan sebagai acuan bagi aparatur dalam menjalankan tugasnya
sehari-hari, antara lain Permen
P Dan K Nomor 44 Tahun 2012
Pemerintah pusat
dan daerah menjamin terselenggaranya
pendidikan wajib belajar sembilan tahun tanpa adanya pungutan biaya. Pungutan
ini sangat membebani masyarakat dan menghambat akses masyarakat mendapatkan
pelayanan pendidikan yang baik. Hal inilah yang melatarbelakangi pemerintah
memberlakukan Permen P dan K No.60 tahun
2011 yaitu tentang pelarangan pungutan biaya pada tingkat Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Pertama.
Pemberlakuan Permen
ini, menimbulkan persoalan-persoalan pendidikan lainnya. Seperti, dimanfaatkannya permen ini oleh oknum yang
mengatasnamakan wartawan dan LSM yang pada awalnya mereka bertujuan untuk mengawasi pemanfaatan dana BOS, tetapi
berujung pada intimidasi dan pungutan liar pada lembaga sekolah yang mereka
awasi. Di sisi lain bagi lembaga pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dan
beberapa sekolah yang dikelolah oleh pemerintah yang bercirikan khusus seperti
RSBI mengeluh kekurangan dana operasional sehingga pendidikan di lembaga
tersebut tidak dapat optimal dalam pelaksanaannya.
Mencermati
hal tersebut pemerintah melalui Peraturan Menteri P dan K nomor 44 tahun 2012
membuka keran kembali bagi lembaga pendidikan untuk mengadakan pungutan biaya
sesuai dengan kebutuhan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Permen
tersebut pasal 8, sebagai berikut :
a. Pungutan yang dilakukan
oleh satuan pendidikan
dasar yang diselenggarakan oleh
masyarakat wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1) Didasarkan pada perencanaan
investasi dan/atau operasi
yang jelas dan dituangkan dalam
rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu
pada Standar Nasional Pendidikan;
2) Perencanaan investasi dan/atau operasi sebagaimana dimaksud pada
huruf a diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan satuan pendidikan
terutama orang tua/wali
peserta didik, komite sekolah, dan penyelenggara satuan
pendidikan dasar;
3) Dana yang diperoleh dibukukan secara khusus oleh satuan pendidikan
dasar terpisah dari
dana yang diterima
dari penyelenggara satuan pendidikan dasar
dan disimpan dalam
rekening atas nama
satuan pendidikan dasar.
b. Pungutan harus digunakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) butir b, dan
sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari total dana pungutan
peserta didik atau
orang tua/walinya digunakan
untuk peningkatan mutu pendidikan.
Jika pungutan biaya tidak sesuai dengan ketentuan Permen di atas,
maka pungutan yang diselenggarakan suatu lembaga sekolah dapat dikatagorikan
pungutan ilegal atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pungutan Liar.
2.
PRAKTEK
PUNGLI DI SEKOLAH
a. Pengertian
Pungli
1) Pengertian
Pungutan liar atau pungli adalah
pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kegiatan
pungutan liar (selanjutnya disebut pungli) bukanlah hal baru. Pungli berasal
dari frasa pungutan liar yang secara etimologis dapat diartikan sebagai suatu
kegiatan yang memungut bayaran/meminta uang secara paksa. Jadi pungli merupakan
praktek kejahatan. Unsur-unsur perbuatannya mirip dengan unsur perbuatan
pencurian (vide.
Pasal 362 KUHP).
Sungguh
sangat ironis permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan ini. Di tengah-tengat
gencarnya upaya pemberantasan buta huruf melalui program wajib sekolah sembilan
tahun dan tanpa dipungut biaya bagi kalangan tertentu, nyatanya masih banyak
lembaga pendidikan tertentu yang akrab dengan budaya pungutan liar. Alih-alih
peningkatan kualitas. Padahal menuntut ilmu secara formal merupakan sektor
strategis dan kunci bagi bangsa ini untuk menapakkan kaki ke arah kehidupan
bangsa yang lebih baik.
Banyaknya
pungutan liar di sekolah, terjadi karena tidak terbukanya sistem pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Padahal, untuk jenjang sekolah
SD dan SMP, tidak diperkenankan memungut biaya apa pun yang terkait untuk biaya
operasional sekolah karena sudah ada Bantuan Operasional Siswa (BOS).
2)
Modus Pungutan Liar di Dunia Pendidikan
a)
Pungutan
Liar di Sekolah
Pungutan
liar biasanya dijumpai pada awal ajaran baru. Contohnya pasca penerimaan murid
baru di tingkat SD dan SMP marak terjadi di beberapa daerah. Besarnya pungutan
beragam mulai dari 450 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah. Hal itu terungkap
ketika puluhan orang tua murid mengadukan adanya pungutan liar ke Posko
Pengaduan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dibuka Indonesia Corruption
Watch (ICW) di beberapa daerah.
Pungutan
liar tersebut, biasanya banyak terjadi setelah siswa diterima di sekolah, bukan
pada saat proses penerimaan siswa baru. Bentuk pungutan tersebut dapat
bermacam-macam, mulai dari uang bangunan,
uang buku, uang bangku,uang studi tour bahkan uang
pensiun guru, dan sebagainya.
Selain
melalui PPDB (Penerimaan Peserta Didik
Baru), modus pungli pun beragam. Seperti di beberapa sekolah dasar di Karawang,
pungli dilakukan beberapa guru dengan mengadakan les tambahan mata pelajaran yang di UN-kan, mulai dari
kelas III sampai kelas IV, setiap siswa dibebankan iuran Rp. 100.000 per bulan
untuk setiap mata pelajaran. Kenapa ini disebut pungli ? Karena guru tersebut seperti
sengaja tidak menerangkan KD yang seharusnya siswa terima jam mereka mengajar.
Padahal mereka sudah mendapatkan sertifikasi dan kesejateraan PNS dari
pemerintah. Sekolah tidak melakukan tindakan tegas, terhadap pelanggaran ini.
Tidak
berhenti sampai disini, biaya alat-alat kebersihan kelas dan ATK (Alat Tulis
kantor) dibebankan ke siswa, padahal seharusnya dana ini dibiayai oleh Dana BOS.
Entah Dana BOS yang tidak mencukupi operasional sekolah atau karena terhambat
proses pencairannya bahkan mungkin dan BOS nya tidak memadahi lagi sebab sudah disunat oleh
“Bos ” alias oknum pemamngku kebijakan di lembaga terkait.
Data-data
di atas hanyalah segelintir kasus pungli di sekolah yang diungkap pada tulisan ini, ibarat fenomena
gunung es yang tanpak kepermukaan hanya
bagian puncaknya saja sementara lereng
dan kakinya tertancap dengan kokoh pada
bidang yang lebih besar dan teramat luas.
Praktek Pungutun
liar yang sering terjadi di sekolah melalui berbagai modus antara lain :
·
Ketika PPDB, sekolah
meminta biaya tes, pembelian formulir dan lainnya.
·
Sekolah meminta dana sebagai syarat lulus tes (membeli kursi).
·
Penambahan atau perbaikan fasilitas sekolah,
buku-buku, seragam sekolah, bahkan untuk kegiatan yang diselenggarakan untuk
menyambut siswa baru dan lain-lain.
·
Memungut biaya untuk fasilitas kelengkapan
kelas.
·
Memungut dana dari siswa sebagai biaya les tambahan di luar jam
belajar.
·
Dan banyak lagi modus-modus pungli lainnya.
b. Pungutan Liar oleh Oknum Pemerintahan.
Menurut
Febri Hendri, peneliti senior ICW ( Kompas, 1/10/2011), perubahan mekanisme
penyaluran dana BOS membuka peluang penyelewengan yang masif. Dana Bos masuk ke
kas pemerintah provinsi bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik daerah,
misalnya dipergunakan untuk pemilihan kepala daerah.
Selain itu hubungan yang tidak harmonis antara pemerintahan provinsi dan daerah
menjadi faktor penghambat macetnya penyaluran. Pasalnya ada kemungkinan
pemerintah provinsi menahan penyaluran dana untuk menekan agar pemerintahan
kabupaten mengikuti aturan main gubernur.
Hal ini yang menyebabkan dana BOS terlambat disalurkan ke lembaga sekolah. Keterlambatan ini pun sering
dijadikan tameng untuk memungut biaya di luar ketentuan baik di
lembaga pendidikan maupun di lembaga pemerintahan.
Selain dana
BOS oknum di lembaga pemerintahan seringkali memungut biaya kepada lembaga
pendidikan. Baik melalui proses akreditasi, sertifikasi guru, mark up , dan
lain sebagainya.
Koran Sindo
(17 September 2012), memberitakan suatu kasus Pungutan liar (pungli) yang menodai dunia pendidikan di Kabupaten Garut.
Sejumlah guru yang sedang mengikuti ujian sertifikasi ulang, pungli dengan
modus dana pinjaman koperasi guru di kecamatan. Seorang guru yang enggan
menyebutkan sekolah tempatnya mengajar, Engkus mengaku pungutan tersebut dilakukan langsung oleh
oknum pegawai Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Garut. Dengan dalih untuk
simpanan koperasi guru diwajibkan mencicilnya dengan cara dipotong gaji.
Selain kasus
di atas, pada saat sekolah melaksanakan akreditasi, seringkali assesor meminta
lebih dari haknya, sekolah seperti tidak bisa menolak karena hubungannya dengan
nilai akreditasi yang akan mereka dapatkan. Pertanyaan assesor di luar
pertanyaan yang seharusnya, seringkali dijadikan alat untuk memberi tekanan kepada
pihak sekolah untuk memberikan “sesuatu” di luar ketentuan. Atau bahkan karena
lumrahnya hal di atas, sekolah seperti enggan mempersiapkan akreditasi ini
dengan matang karena mereka bisa
“membeli nilai” dengan hanya mengisi uang saku pengawas dengan sejumlah uang
yang tidak sedikit.
Tidak
berhenti sampai di situ, masih banyak
lagi pungutan-pungutan lain yang direkayasa sehingga tampak seperti
bukan pungutan, melalui mark up pengadaan barang misalnya, di suatu kabupaten
di Jawa Barat kalender pendidikan dihargai Rp.10.000/lembar, komputer untuk Dapodik
yang dihargai Rp.9.500.000 dengan spesifikasi komputer China. Miris melihat
kenyataan pendidikan di Indonesia ini,
dimana pungli sudah merajalela dan korup menjadi budaya, menyunat anggaran menjadi
biasa.
Dari
beberapa kasus pungli di atas dapat penulis simpulkan, bahwa pungutan liar ini dari
hulu ke hilir, dari pemerintah pusat sampai ke lembaga pendidikan, seperti
sudah biasa di dunia pendidikan yang
notabene tempat lahirnya generasi unggulan bangsa, dimana karakter bangsa ditempa.
3)
Dampak
dari Pungutan Liar di Dunia Pendidikan
Adapun
dampak dari merebaknya pungutan liar ini adalah sebagai berikut :
a) Menurunnya
public trust kepada pemerintah dalam
hal ini adalah kemendikbud, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan;
b) Merebaknya
“budaya” korup di dunia pendidikan yang
semestinya mengajarkan nilai-nilai kerakter kebangsaan;
c) Terhambatnya
akses orang miskin memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas;
d) Dana
BOS akan semakin tidak efektif dan efisien;
e) Pungli
dimanfaatkan oleh lembaga lain salah satunya adalah “LSM” yang notabene sebagai
“pengawas “, berbalik arah menjadi pemeras bahkan mengintimidasi satuan
pendidikan.
B.
DATA
DAN ANALISA
1.
Praktek
Pungli di Sekolah ditinjau dari aspek Administrasi dan Manajemen
Persoalan pungli di dunia pendidikan
tidak hanya persoalan mekanisme dana BOS, keterlambatan dan penyunatan dana BOS, tetapi
juga BOS ini dijadikan mata pencaharian oknum kepala sekolah. Dugaan ini
dikatakan aktivis Gerakan Rakyat Berjuang (GRB) Kabupaten Palas, Mardan Hanafi
Hasibuan SH, Kamis (20/9). Alasannya, banyak ditemukan sekolah penerima
bantuan dana BOS, alat tulis kantornya tidak ada. Bahkan, untuk kebutuhan kapur
dan peralatan sekolah pun tidak ada, padahal dana BOS cukup besar jumlahnya yang
dialokasikan setiap triwulannya. Kadis Pendidikan Palas, Khoiruddin Harahap
mengutarakan, dana BOS untuk keseluruhan tingkat SD dan SMP setiap triwulannya
sebanyak Rp 6,9 miliar, dan tujuannya agar terwujudnya pendidikan yang
berkualitas dan bersih serta gratis.Kenyataannya anggaran 20 persen untuk
pendidikan itu banyak dijadikan oknum
pejabat di lingkungan Kemendikbud dan Kemenag sebagai objek mata pencaharian.
Sehingga tidak heran banyak pegawai di lingkungan Disdikbud berlomba-lomba
menjadi Kasek.
Modus operandi penyelewengan tersebut
dilakukan secara sistematis oleh oknum
kepala sekolah dengan memerintahkan bawahannya untuk membuat laporan dana penggunaan
BOS yang direkayasa. Istilah “kwitansi kosong” sudah biasa dilakukan sekolah
pada saat transaksi pengadaan suatu
barang. Sehingga mark up harga suatuan barang pun terjadi pada saat pembuatan laporan
BOS ini. Laporan dibuat, supaya pemerintah
dapat mengontrol penggunaan dana BOS dan menjadikan laporan sebagai bahan
evaluasi pelaksananan program tersebut. Prinsip pelaporan “asal ada” dan laporan yang direkayasa menyebabkan
pemerintah menarik kesimpulan yang kurang tepat, dan menganggap bahwa program ini berjalan lancar
seperti tidak ada masalah padahal kenyataannya berkata lain.
Terjadinya penyimpangan penggunaan dana
BOS di luar peruntukannya, apakah untuk
memberi oknum pejabat yang berkopenten dalam prosedur pencairan dana BOS pada instansi terkait atau disalah gunakan
oleh pihak sekolah untuk kepentingan pribadi/ kelompok, yang jelas sebagai konsekwensi logisnya
adalah menuntut para pengelola lembaga
pendidikan untuk mencari dana dari sumber lain guna membeli kebutuhan opersional sekolah, hal
inilah merupakan salah satu faktor penyebab terjadi pungli di lingkungan
sekolah selain faktor-faktor lain yakni mental korup yang ada bersemayam di dalam diri
oknum-oknum yang bersangkutan.
Uraian di atas menunjukan bahwa terjadinya
praktek pungli disebabkan oleh beberapa faktor yang secara general dapat dibagi
dua yaitu;
a. Faktor internal
Faktor internal ini melibatkan steak holders di sekolahan (oknum pegawai/karyawan sekolah, guru, kepala
sekolah maupun Komite sekolah), mekanisme pelaksanaannya bisa bersifat individu/personal maupun berjamaah yang terorganisir rapi. secara individu biasanya dilaksanakan oleh seorang guru dengan sengaja dan terencana tidak mengajarkan
materi tertentu yang seharusnya harus
diajarkan dengan tujuan agar para siswa membutuhkan privat atau les tambahan
yang melibatkan guru yang bersangkutan, dan saat itulah modus pungutan liar
beroprasi. Sedangkan cara berjama’ah dikoordinir DENGAN rapi dan sistematis
oleh oknum pejabat sekolah yang melibatkan para guru, komite sekola untuk menggali dana
dari siswa atau orang tua murid dengan
berbagai modus dan alasan serta tujuan misalnya :
·
Ketika PPDB, sekolah
meminta biaya tes, pembelian formulir dan lainnya.
·
Sekolah meminta dana sebagai syarat lulus tes (membeli kursi).
·
Penambahan atau perbaikan fasilitas sekolah,
buku-buku, seragam sekolah, bahkan untuk kegiatan yang diselenggarakan untuk
menyambut siswa baru dan lain-lain.
·
Memungut biaya untuk fasilitas kelengkapan
kelas.
·
Memungut
dana dari siswa sebagai biaya les
tambahan di luar jam belajar.
Dan banyak lagi
modus-modus pungli lainnya.
Terlepas dari alasannya dapat diterima atau tidak itulah sebagian dari cara
yang dilakukan oleh para oknum untuk memungut
dana dari para siswa/ wali murid.
Pemungutan dana tersebut sebenarnya sah-sah saja jika dilakukan sesuai ketentuan dalam permen P dan
K nomor 44 tahun 2012 yakni berdasarkan perencanaan tahunan diluar biaya operasional, dikelola dan dipegunakan
sesuai peruntukan berdasarkan rencana serta dipertanggungjawabkan secara transparan. Namun praktek
dilapangan ternyata berbeda, pungutan yang dilakukan tidak melalui perencanaan yang
dibahas oleh steak holders sekolah dan tidak sampaikan kepada kementerian terkait sebagai informasi rencana
anggaran tahunan serta dana yang terkumpul dari hail pemungutan dipergunakan
untuk berbagai keparluan baik pribadi, kelompok
atau biaya operasional yang seharusnya tidak diperbolehkan.
b. Faktor
Eksternal
Penyunatan dana BOS yang sering
dilakukan oleh para oknum pemangku kebijakan di lingkungan kementerian
pendidikan dan pemda setempat membuat
para pengelola pendidikan mengabil langkah sepihak untuk menutupi kekurangan
dana operasional sekolah melalui pemungutan dana dari siswa/ wali murid. Semestinya
hal tersebut tidak semestinya terjadi sebab mekanisme pencairan BOS administrasi telah
diatur.
Merujuk pada uraian di atas dapat di
fahami bahwa secara regulasi yang telah ditetapkan pemerintah tentang mekanisme pencairan dana BOS dan Peraturan
yang berkenaan dengan pungutan
dana dari para siswa sebagaimana permen P dan K nomor 44 tahun 2012 belum juga mampu mencegah terjadinya pungutan liar
baik yang dilakukan oleh oknum pemangku kebijakan di instansi terkait maupun di
sekolah.
Praktek ini sangat bertentangan dengan
prinsip dasar pelayanan prima yang harus
dilakukan oleh aparatur negara bahkan lebih jauh lagi pungli dapat dikatagorikan sebagai bentuk
gratifiksi atau korupsi. Dengan berbagai
modus operandi yang dilakukan oleh para oknum tersebut secara sengaja
mereka telah menciderai jalannya
reformasi birokrasi khususnya dalam pelaksanaan 8 (delapan) area perubahan reformasi birokrasi khususnya
area mind
set dan culture set.
Seharusnya de era reformasi birokrasi jilid dua ini aparatur pemerintah sudah
menerapkan nilai-nilai dan budaya
organiasi pemerintah secara konsisten dan konsekwen dalam menjalankan tugasnya
masing-masing. Dan implementasi nilai-nilai
tersebut dalam sikap aparatur saat
melaksanakan tugas sehari-hari inilah yang disebut dengan budaya kerja.
Sebab aktualisasi dari budaya
kerja itu akan mewujudkan
a.
Pemahaman terhadap makna bekerja;
Bekerja merupakan ibadah kepada Tuhan yang
telah menciptakan dan Pengab dian kepada negara untuk mewujudkan kemakmuran bangsa
yang menjadi cita-cita perjuangan dari the founding father sebgaimana yang
tertuang pada priambule UUD 1945.
b.
Sikap terhadap pekerjaan atau apa yang
dikerjakan;
Karena pekerjaan adalah ibadah maka seharusnya dilaksanakan dengan benar
berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan.
c.
Sikap terhadap lingkungan pekerjaan;
Keberhasilan bekerja tidak datang dengan
sendirinya tanpa kontribusi lingkungan sekitarnya, oleh karena itu meciptakan
kondisi yang kondusif di tempat kerja merupakan suatu keniscayaan agar terciptanya sinegitas tinggi dalam mencapai
tujuan yang ditentukan.
d.
Sikap terhadap waktu;
Meskipun setiap individu dalam menjalani
kehidupan sama-sama memiliki waktu 24 jam sehari manun kwalitas masing-masing akan berbeda sesuai dengan untuk apa waktu itu digunakan, oleh karena
itu aparatur yang cerdas akan selalu menghargai waktu dengan
pekerjaan atau tindakan yang bermanfaat.
e.
Sikap terhadap alat yang digunakan untuk
bekerja;
Peralatan akan dapat mendukung kesuksesan
pekerjaan seseorang jika operatornya familiear (tahu cara penggunaan,
menggunakan dengan benar dan merawatnya dengan baik) Oleh karena itu seorang aparatur hendaknya selalu mengupdate
diri dengan peralatan yang selalu perkembangan dari waktu ke waktu.
f.
Etos kerja; dan
Etos kerja berfungsi sebagai pendorong atau penggerak
terbangunnya perilaku kerja yang diinginkan, dan etos kerja ini dibentuk oleh
nilai budaya kerja sehingga apabila pelaksanaan pengembangan budaya kerja di
dalam suatu organisasi berlangsung dengan baik maka kan terlahirlah aparatur
yang memiliki etos kerja yang tinggi.
g.
Perilaku ketika bekerja atau mengambil
keputusan.
Apartur negara harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik
bagai masyarakatnya, untuk itu strategi pelayanan, sikap dalam menghadapi
hambatan dalam pelayanan harus dilakukan secara terencana terprogram dengan
baik berdasarkan hasil kajian yang
mendalam dengan berbagai pertimbangan
yang komprehensif dan keputusan yang bijaksana.
Apabila nilai budaya kerja tersebut telah teriternalisasi dan teraktualisasi
menjadi sifat dan sikap dalam menjalankan tugas maka pungli si seklah tidak
akan terjadi karena seorang aparatur yang telah diberi tanggung jawab sebagai
pelayanan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Sebab mereka akan selalu
dikawal dengan nilai-nilai luhur yang
telah menyatu dengan dirinya sehingga rasa mempertanggungjawabkan atas segala kegiatan itu terhubung pada
horizontal dan fertikal.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1.
Setelah mencermati berbagai informasi
yang dihimpun baik melalui berbagai
media maka dapat disimpulkan bahwa Modus dilakukan oleh para oknum guru dan oknum
Pejabat di sekolah antara lain adalah;
·
Ketika PPDB, sekolah
meminta biaya tes, pembelian formulir dan lainnya.
·
Sekolah meminta dana sebagai syarat lulus tes (membeli kursi).
·
Penambahan atau perbaikan fasilitas sekolah,
buku-buku, seragam sekolah, bahkan untuk kegiatan yang diselenggarakan untuk
menyambut siswa baru dan lain-lain.
·
Memungut biaya untuk fasilitas kelengkapan
kelas.
·
Memungut
dana dari siswa sebagai biaya les
tambahan di luar jam belajar.
2.
Setelah diketahui beberapa modus operandi dari praktek pungli
sebagaimana dimaksud di atas maka dapat
kita fahami bahwa terjadinya hal tersebut karena lemahnya komitmen “oknum guru/ pejabat
sekolah” terhadap tugas pelayanan yang seharusnya diberikan secara profesional,
tansparan dan akuntabel. Dan hal ini
menunjukan bahwa pengembangan dan internalisasi budaya kerja pada unit kerja tersebut belum optimal.
Tidak terinternalisasinya nilai-nilai
budaya organisasi kedalam diri
seseorang pegawai/karyawan akan melahirkan sikap dan prilaku yang tidak
sejalan bahkan bisa menyimpang dari tujuan organisasi. Oleh
karena itu sudah seharusnya para pemangku kebijakan disetiap unit kerja melakukan pengembangan budaya kerja dilingkungan masing-masing
sesuai dengan amanat Peraturan Menteri PAN dan Reformasi Birokrai nomor 39 tahun
2012 tentang Pedoman Pengembangan Budaya
Kerja.
B. SARAN
Sebaik apapun konsep, teori maupun peraturan, jika tidak
ditindaklanjuti dengan pelaksanaan/implementasi
sama halnya dengan menumpuk dokumen
berharga tapi tidak berguna, oleh karena itu Permen PAN nomor 39 tahun 2012 ini harus
ditindak lanjuti oleh seluruh instansi
pemerintah.
Untuk memastikan
keberhasilan pengembangan budaya kerja, telah dijelaskan faktor-faktor yang
harus diperhatikan dalam proses tersebut. Agenda tindak lanjut yang harus dipersiapkan
oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah:
1. Pimpinan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah:
a.
Membuat Surat Keputusan Tim Pelaksana Pengembangan Budaya Kerja (bila Tim
Manajemen Perubahan dalam Reformasi Birokrasi belum dibentuk);
b. Menambahkan
tugas mengenai Pengembangan Budaya Kerja pada Tim Manajemen Perubahan (bila Tim
Manajemen Perubahan dalam Reformasi Birokrasi telah dibentuk).
2.
Pimpinan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah,bersama Tim:
a.
Mengidentifikasi nilai-nilai yang akan dikembangkan menjadi budaya kerja;
b. Menerjemahkan nilai-nilai ke dalam bentuk
perilaku utama;
c. Mengenali
kemungkinan-kemungkinan penolakan yang akan muncul dan merumuskan alternatif
cara mengatasi;
d. Melakukan sosialisasi untuk mengomunikasikan
nilai-nilai yang telah disepakati;
e
Merumuskan kriteria dan cara pengukuran keberhasilan internalisasi budaya
kerja;
f.
Membentuk kelompok-kelompok budaya kerja; dan
g.
Melakukan monitoring dan evaluasi serta menindaklanjuti hasil evaluasi sebagai
proses penguatan nilai-nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Soedijarto,
2008, Landasarn dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Kompas, Jakarta.
Siroji,
M, 2010, Politik Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Mukhyi, Muhammad Abdul., Imam Hadi
Saputro (1995). Pengantar Manajemen Umum (Untuk STIE). Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Kementerian PAN, 2012, Peraturan Menteri
pendayagunaan aparatur negara Dan reformasi birokrasi republik indonesia Nomor
39 tahun 2012 Tentang Pedoman pengembangan budaya kerja
Kemendiknas,
2011, Kebijakan Pemerintah Program Bantuan Operasional Sekolah Tahun 2011
Permendikbud
No. 44 tahun 2012
Permendikbud
No. 60 Tahun 2011
Pidato
Presiden RI, 2012, Kebijakan RAPBN Pendidikan 2012
Neneng
Jubaedah, 2011, www. okezone.com
Inggried Dwi Wedhaswa,
2012, http://edukasi.kompas.com
Febri
Hendri A.A, 2011, Kritik atas Kebijakan Dana BOS 2011, ICW, 2011
Fani
Ferdiansyah, 17 September 2012, Ujian sertifikasi guru sarat pungli, Koran Sindo
1 komentar:
Posting Komentar