DISKURSUS
TENTANG PEMIKIRAN ISLAM R.A KARTINI
Oleh: Elvi Anita
Afandi, S. Ag*
Di
Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879, R.A Kartini dilahirkan, puteri
Bupati Jepara. Beliau dan wafat pada17 September 1904, usia 25 tahun. Berdasar
Surat Keputusan Presiden RI (Ir Soekarno) No. 108 Tahun 1964, disahkan sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Ia hidup dalam keluarga ningrat yang sangat mengagungkan
tradisi (feodalistis kerajaan) dan kolonialisme Belanda.
Kebanyakan perempuan Indonesia memperingati hari
kelahirannya dengan menyelenggarakan berbagai acara dengan tema emansipasi
wanita (yang selanjutnya berkembang menjadi semacam gerakan feminisme). Apa
sesungguhnya yang diperjuangkan Kartini, bagaimana pemikirannya? Seharusnya
diketahui generasi kita, untuk menghindari penokohan yang salah kaprah terhadap
beliau.
Kegelisahan RA. Kartini
Pendidikan Kartini hanya sampai sekolah dasar atau
dikenal dengan ELS (Europese Lagere School). Ia mampu berbahasa Belanda dengan baik,
dengan kemampuannya itu ia banyak menulis surat kepada teman-teman Belanda-nya
yang berisi curahan hatinya.
Kartini mulai merasakan adat istiadat Jawa yang peraturannya begitu mengekang, hingga timbul
dalam pikirannya untuk menentangnya sebagaimana bait-bait dalam suratnya ini :
“Sesungguhnya adat sopan santun
kami orang Jawa amatlah rumit, adikku harus merangkak bila hendak berlalu di
hadapanku...Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya
pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat dicaci
orang disebut kuda liar” ...
“... Tidak ada yang lebih gila
dan bodoh menurut persepsi saya dari pada melihat orang yang membanggakan asal
keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholeh, orang yang bergelar Graff
atau Baron?....”(surat Kartini
kepada Stella, 18 Agustus 1899)
Kartini
tidak hanya bergelut dengan tradisi yang kolot, tapi sekaligus menghadapi serangan halus teman-temannya dari Barat,
seperti JH. Abendanon, Direktur
Departemen Pendidikan (dan isterinya), yang banyak meminta nasehat pada Snouck
Hurgronje, orientalis yang mempropagandakan bahwa golongan yang paling keras
menentang penjajah Belanda adalah Islam. Karenanya, memasukkan peradaban Barat
dalam masyarakat pribumi adalah cara jitu untuk meguasai pengaruh Islam, dan
tidak mungkin membaratkan rakyat kecuali ningratnya telah dibaratkan. Hurgronje
menyarankan Abbendanon untuk“mendekati” Kawan lainnaya, Estella Zeehandelaar
(Stella), wanita Yahudi anggota militan gerakan feminis di Belanda. Berikutnya,
Ny. Van Kol (dll.), yang gigih berusaha mengkristenkan Kartini:“Ny Van Kol banyak bercerita
kepada kami tentang Yesus yang Tuan muliakan itu, tentang Petrus dan Paulus,
dan kami senang mendengar itu semua.”(surat Kartini
kepada Dr. Adriani, 5 Juli 1902)
Kartini
jelas terpengaruh dan kagum pada Barat: “Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik : orang
baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu
meniru yang tertinggi pula ialah orang eropa.”(surat
Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899)
Kartini
juga punya keinginan belajar ke Belanda agar kelak menjadi bekal baginya
meningkatkan harkat dan martabat orang Jawa dengan meningkatkan tingkat
pendidikan rakyat. (surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900) Namun, niat Kartini ini tidak kesampaian. Adalah Mr.J.H
Abendanon yang paling gigih
menghalangi niat tersebut
atas saran Snouck Hurgronje.
Pemikiran Islam RA. Kartini
Kartini
mengalami hal kurang menyenangkan, ketika guru mengajinya menyuruhnya keluar dikarenakan
ia menanyakan arti dan makna dari Al Qur’an yang ia baca. Ia sangat kecewa:
“Mengenai
agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya
mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena
nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak
mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh
diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti
bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa
yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi
tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau
mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi
tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi
orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah
begitu Stella?” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]
Sungguh
pemikiran luar biasa dari Kartini, kritis, jiwanya berontak terhadap sesuatu
yang ia anggap tidak logis. Keinginannya mendalami Islam sangat kuat. Pada akhirnya
Kartini melakukan aksi mogok tidak mau mengaji sebagai protes atas keadaan yang
ia dan juga umat Islam alami waktu itu.
Perlu diketahui ini merupakan taktik
pemerintah Belanda, umat muslim dibolehkan mengajarkan baca Al Qur'an dengan
syarat tidak diterjemahkan.
Suatu ketika, takdir membawa Kartini pada pengajian
di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, pamannya. Pengajian dibawakan
oleh seorang ulama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar (atau dikenal Kyai Sholeh
Darat) tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali (bukankah selama ini hanya
boleh membaca dan menghafal Quran tanpa tahu maknanya). Setelah pengajian,
Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut
ini dialog-nya (ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh
Darat).
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan,
bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun Kyai Sholeh Darat, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Tertegun Kyai Sholeh Darat, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Kyai
Sholeh Darat tergugah hatinya. Beliau kemudian menuliskan terjemah Al Quran dalam
bahasa Jawa, dan dihadiahkan pada Kartini saat pernikahannya. Sayang , jilid
pertama, yang terdiri 13 juz, dari surat Al-Fatihah sampai Ibrahim, belum
sempat dilanjutkan karena sang Kyai wafat.
Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti
yang sesungguhnya. Kartini mendapati surat Al- Baqarah: 257 bahwa Allah-lah
yang membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya Minadh-dhulumaati
ilan nuur. Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata ini. Ia merasakan sendiri proses perubahan
dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran
tak-berketentuan kepada
pemikiran hidayah.
Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak mengulang-ulang kalimat “Door Duisternis Tot Licht”, oleh Abbendanon kemudian
dijadikan judul buku yang berisi surat-surat Kartini kepada kawan-kawan
Belanda-nya. Cucu tiri Kartini, Prof. Dr. Haryati Soebadio, Menteri Sosial Era
Orde Baru menerjemahkan dengan “Dari
Gelap Menuju Cahaya”,oleh Armijn Pane diterjemahkan dengan “Habis Gelap
Terbitlah Terang”.
Kartini
mengalami transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat dan Islam-pun
mulai berubah, setelah sekian lama kagum pada Barat dan kecewa pada Islam.
“Sudah lewat masanya, tadinya kami
mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik,
tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat
Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam
masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut
sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]
Kartini juga menentang semua praktek
kristenisasi di Hindia Belanda :
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending,
jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta
kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan
keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang
sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan
mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E.E.
Abendanon, 31 Januari 1903]
Bahkan Kartini bertekad untuk berupaya
untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran
fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat
bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat
Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
“Kesusahan
kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami
dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (surat Kartini kepada Nyonya
Abandanon, 1 Agustus 1903)
Bagaimana emansipasi menurut Kartini ?
“Kami di sini memohon
diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali
karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki
dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar
sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya,
kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu,
pendidik manusia yang pertama-tama (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan
nyonya, 4 Oktober 1902)
Wallahua’lam
*Mantan Ketua BKMT Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Penyuluh
Agama Islam Kementerian Agama Kab. Bogor, Wilayah Kecamatan Ciawi
Bahan bacaan:
a.
Habis gelap Terbitlah Terang: RA.
Kartini (Penerjemah: Armijn Pane)
b.
Api Sejarah: Ahmad mansur
Suryanegara
c.
Membincang Feminisme, Diskursus
Gender Perspektif Islam: Ahmad Zahro Al Hasany
*Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama
Kab. Bogor, Wilayah Kecamatan Ciawi
0 komentar:
Posting Komentar