oleh : Edi Nursalam
Berita harian Kompas pada hari Jum’at tanggal 20 Mei 2011 yang lalu cukup menarik perhatian, karena judul dari beritanya adalah; “uji coba Pengaturan Truk diteruskan” dan pada bagain awal berita tersebut ditulis; “Direktur Lalu lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris besar Royke Lumowa menegaskan , uji coba pengaturan truk di jalan Toll dalam kota akan tetap diberlakukan . Dukungan dari masyarakat Jakarta terus mengalir meminta agar uji coba ini di jadikan ketetapan.”
Yang menarik, pada bagian tegah tulisan ada sub judul“Menhub minta dibatalkan”; Menteri Perhubungan memerintahkan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan berunding dengan pemerintah Provinsi DKI Jakarta soal pengaturan truk di Jaln toll dalam kota. Menteri juga minta pembatasan truk dibatalkan.”
Uji coba pelarangan atau pembatasan truk di jalan tol Jakarta dimulai pada saat menjelang pelaksaan KTT ASEAN di Jakarta tanggal 27 April yang lalu.Uji coba ini berjalan sukses, jalan tol terlihat lancar dan pengguna jalan tol pun dapat menikmati jasa yang dibelinya yang selama ini kurang disediakan dengan baik oleh pengelola jalan toll yaitu kecepatan. Logikanya untuk apa beli tariff toll kalau sama saja dengan jalan biasa, maceet.
Uji coba ini mendapat pujian dari sebagian besar masyarakat pengguna jalan toll kota Jakarta. Salah satu bentuk dukungan warga Jakarta terhadap kebijakan ini muncul dalam solusimacet.org. Situs itu membuat jajak pendapat mengenai kebijakan ini, hasilnya 92,4 persen dari 541 responden menyatakan setuju penerapan uji coba ini diteruskan menjadi kebijakan tetap selamanya. Kalau kita cermati data 92.4 persen itu tentu saja sangat wajar karena yang menikmati jalan toll klota selama ini adalah pengguna kendaraan pribadi yang jumlahnya lebih dari 90 persen. Sedangkan yang tidak setuju tentu saja pengguna jalan toll dari angkutan barang.
Sebagaimana diketahui jumlah mobil barang saat ini di Jakarta maupun di Indonesia pada umumnya yang juga menggambarkan pengguna jalan toll dari mobil barang adalah tidak lebih dari 10 persen. Namun angka sepuluh persen bukan berarti tidak menimbulkan dampak besar. Kecepatan kendaraan barang yang relative lambat, ditambah dengan berat muatan yang tidak terkontrol dengan baik karena tidak ada lagi jembatan timbang yang dapat mengontrol kelebihan muatan mobil barang di Jakarta. Dan masih banyak kondisi mobil barang yang sudah cukup tua dan kurang laik jalan serta disiplin yang kurang baik dari pengemudi mobil barang yang kerap menggunakan jalur cepat (walau dia berjalan lambat) di jalan toll. Hal ini telah membuat truk atau mobil barang menjadi momok biang kemacetan di jalan toll yang memang sering macet itu. Dengan adanya uji coba pelarangan truk atas kerjasama antara Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Ditlantas Polda DKI ini terbukti bahwa yang menjadi kambing hitam kemacetan truk di Jakrta adalah truk. Buktinya setelah truk dilarang, jalan toll agak sedikit lancar.
Menurut Direktur Lalu lintas Kepolisisn Daerah Metro Jaya Komisaris besar Royke Lumowa dan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, mempunyai dasar hukum yang kuat yaitu Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. AJ.306/1/5 tahun 1992. Berdasarkan aturan tersebut jika angkutan barang bermuatan berat sudah mengganggu kecepatan (disturb speed) dan mengganggu didtribusi (distribution speed), dimana muatan angkutan tersebut melebihi muatan dan ketinggian sertya tidak laik jalan, maka diperbolehkan melakukan pembatasan waktu operasional angkutan berat, demikan penjelasan Udar Pristono Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta seperti yang dikutip berita Jakarta.com pada hari rabu jum’at tanggal 20 mei 2011.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa Menteri Perhubungan kurang mendukung kebijakan yang baik ini ? . Bila kita ikuti berita di media massa, ternyata walaupun kebijakan uji coba ini menghasilkan sesuatu yang baik bagi masyarakat khususnya pengguna jalan toll, paling tidak ada tiga pihak yang tidak setuju kebijakan ini diteruskan.
Pihak pertama adalah; Pemerintah Tangerang Selatan. Pemda ini meminta agar kebijakan pembatasan jam operasi truk dijalan toll agar dikaji dan dicabut. Alasannya adalah semenjak uji coba pelarangan truk di jalan tol kota Jakarta, telah mengakibatkan kemacetan parah di wilayah kota tangerang Selatan. Karena truk dari kabupaten tangerang dan Merak menuju Jakrta dan sebaliknya terpaksa mencari jalan reguler atau jalan biasa dengan melintsai kota tengerang selatan. Antren kendaraan pribadi menjadi sangat panjang akibat banyak truk yang masuk toll terpaksa dihentikan dan dialihkan kejalan reguler kappa Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi danb Informatika kota tanggerang selatan Nurdin Marzuki seperti yang dikutip harian Kompas.
Pihak kedua yang ikut memprotes uji coba ini adalah PT. Pelabuhan Indonesia II. Pembatasan jam operasi truk di Jalan tol kota telah membuat pelayanan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta menjadi terhambat. Dapat dimaklumi, karena keterbatasan areal pelabuhan, sebagian besar barang yang akan dikirim maupun yang dibongkar di Pelabuhan Tanjung priuk tidak menggunakan gudang yang ada di Pelabuhan. Barang-barang ini langsung dibawa dari Pabrik atau gudang pabrik yang ada dibeberapa kawasan Industri disekitar Jakarta bahkan Jawa barat dan sebagian wilayah Sumatera untuk dimuat langsung kekapal tanpa melalui penyimpanan digudang pelabuhan. Kecuali sebagian peti kemas, terkadang ditumpuk dilapangan penumpukan pelabuhan namun jumlahnya juga terbatas. Begitu juga halnya terhadap barang yang datang, setelah dibongkar dari kapal, terkadang harus langsung keluar dari Pelabuhan. Apabila truk terhambat atau hanya diperbolehkan melalui jalan tol kota Jakarta yang mungkin jalan utama yang sering dilaluinya pada malam hari, maka proses bongkar muat barang dengan sendirinya juga terhambat. Yang dirugikan tidak hanya PT.Pelindo II namun juga pemilik kapal, yang biasanya sudah punya perjanjian jadwal pengiriman barang baik dengan buyer atau dengan pemilik barang. Apabila proses bongkar muat kapal terhambat maka pemilik kapal harus membayar uang sandar dan uang labuh yang lebih mahal kepada PT.Pelindo II.
Namun bila kita cermati lebih dalam, terganggunya operasional pelabuhan akan berdampak secara makro kepada perekonomian nasional, karena distribusi barang yang merupakan bagian dari kegiatan eksport-import adalah salah satu kegaiatan yang menunjung perekonomian Negara. Disisi lain kalau distribusi barang terganggu maka harga barang dengan sendirinya juga akan melambung naik. Dampak berikutnya adalah akan terjadinya peningkatan angka inflasi yang akan membebani pemerintah dan masyarakat banyak
Pihak ketiga yang tidak setuju dengan kebijakan ini adalah; Organda atau organisasi angkutan darat yang merupakan pembina dari pemilik angkutan barang yang ada di Indonesia. Apabila kebijakan ini tetap diteruskan maka organda mengancam akan meminta anggotanya yaitu tentu saja pemilik mobil barang dan mungkin juga angkutan umum penumpang untuk mogok massal. Protes organda yang mewakili pemilik angkutan barang ini tentu saja dapat dimaklumi karena pembatasan operasi truk di jalan toll kota akan membuat jumlah rit truk yang berhubungan langsung dengan pendapatan perusahaan angkutan itu akan berkurang.
Berdasarkan uraian diatas, kita mungkin cukup memaklumi kenapa Menteri Perhubungan ikut turun tangan melarang kebijakan pembatasan jam operasi truk di jalan toll kota untuk diteruskan. Walaupun dilapangan terlihat bukti nyata bahwa setelah truk dilarang ternyata dampaknya sangat positif bagi pengguna jalan toll. Bahkan kebijakan ini didukung mayoritas (92,4 %) oleh responden yang dibuka di salah satu situs internet. Menteri Perhubungan sebagai penanggung jawab transportasi secara nasional tidak hanya membela kepentingan pengguna jalan toll yang notabene adalah pemilik kendaraan pribadi. Menteri juga harus mempertimbangakan kepentingan lain yang bersifat nasional yaitu ekonomi mikro masyarakat dan ekonomi makro negara.
Belajar dari kejadian ini, kita harus kembali kepada salah satu prinsip dasar transportasi yaitu pengunaan angkutan massal dalam setiap proses distribusi orang dan barang. Apakah benar kemacetan jalan toll di Jakarta saat ini hanya disebabkan oleh truk barang ? bagaimana kalau kita melakukan uji coba pelarangan atau pembatasan jam operasi kendaraan pribadi di jalan tol ? hasil nya pasti dapat dijamin jauh lancar daripada uji coba pelarangan truk diatas. Sebab kalau kendaraan pribadi dilarang melewai jalan toll, jalan tol pasti sepi karena lebih dari 90 % penggunanya akan mengunakan jalan biasa. Tapi apabila Kebijakan pembatasan jam operasi truk ini tidak menimbulkan permasalahan bagi kota tangerang selatan, bagi proses bongkar muat di Pelabuhan dan tidak mengganggu pendapatan dari pengusaha angkutan, maka kebijakan ini harus kita dukung bersama.
Jalan-jalan kita macet dimana-mana saat ini disebabkan oleh karena kita salah dalam menggunakan moda transportasi. Kita biarkan barang dibawa secara individu oleh kendaraan barang. Kita terlambat menyediakan angkutan massal untuk angkutan barang. Akibatnya jalan-jalan kita dipenuhi oleh kendaraan individual yang jumlahnya lebih banyak tentunya. Begitu juga untuk kendaraan pribadi yang menjadi pengguna utama jalan toll. Karena belum tersedia system angkutan umum yang baik maka terkadang mereka terpaksa menggunakan kendaraannya meskipun harus membayar mahal terhadap jasa toll yang selama ini tidak dipenuhi oleh pengelola jalan toll. Sebenarnya pengelola jalan toll pun harus ikut bertanggung jawab. Karena selama ini mereka telah menjual suatu produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknisnya. Maksudnya apabila kita membayar tariff toll, maka berarti telah terjadi perjanjian jual beli produk berupa jasa kecepatan minimal 80 km di jalan toll. Tapi kenyataannya kita lebih sering menerima kecepatan lebih rendah bahkan nol km/jam.
Kontroversial kebijakan pelarangan truk dijalan toll Jakarta adalah salah satu indikator bahwa sudah saatnya kita segera menggunakan angkutan massal untuk system transportasi kita. Baik untuk angkutan orang apalagi angkutan orang. Belajar dari Negara lain yang memanfaatkan angkutan kereta api, angkutan sungai dan angkutan laut untuk angkutan barangnya. Dan menggunakan angkutan kereta api, trem atau minimal Busway untuk angkutan orangnya. Agar jalan kita tidak dipenuhi oleh kendaraan individual yang jumlahnya lebih banyak dan pasti akan menimbulkan permasalahan lalu lintas seperti kemacetan dan kecelakaan lalu lintas.
Apapun kebijakan yang diambil dalam pengaturan lalu lintas dalam kondisi saat ini di Jakrta tanpa mempertimbangkan angkutan massal dapat diibaratkan seperti memencet balon, disatu sisi kempes namun dia akan menggelembung sisi lainnya. Sama persis dengan uji coba pelarangan truk diatas, di jalan tol Jakarta lalu lintas lancar, namun di Tangerang selatan dan sekitarnya serta di Pelabuhan Tanjung Priuk akan timbul permasalahan. Apakah kita mau terjebak terus ? mari satukan pikiran untuk mendukung pemerintah mengembangkan angkutan massal.
Refferensi :
hhtp://www.republika.co.id/berita/regional/jabodetabek
hhtp://www.kaskus.us/showthread.php
Refferensi :
hhtp://www.republika.co.id/berita/regional/jabodetabek
hhtp://www.kaskus.us/showthread.php
Cetak