OLEH : EDI NURSALAM
Tarif adalah harga yang harus kita beli untuk mendapatkan jasa transportasi. Pada dasarnya semua moda transportasi mempunyai tariff atau harga. Termasuk kendaraan pribadi dan sepeda motor. Harga jasa untuk kendaraan pribadi dan sepeda motor secara sederhana dapat kita hitung dari biaya investasi yang dikeluarkan dibagi dengan umur ekonomis kendaraan tersebut dan ditambah dengan biaya operasional yang dikeluarkan untuk membeli BBM, bayar tol, parkir, ganti oli, serta perawatan lainnya. Dan secara tetap pemilik kendaraan pribadi juga akan mengeluarkan biaya untuk pajak atau retribusi lainnya. Salah satu pertimbangan masyarakat pengguna kendaraan pribadi atau sepeda motor adalah harga atau tariff yang harus dibayar untuk sebuah angkutan umum tidak begitu jauh berbeda dengan harga yang harus dikeluarkan untuk kendaraan pribadi atau sepeda motor. Bahkan dalam beberapa kasus untuk daerah yang belum terlayani oleh angkutan umum penggunaan sepeda motor jauh lebih murah.
Tarif angkutan sering menjadi dilemma pada saat terjadinya keniakan BBM (bahan bakar minyak), karena proporsi komponen BBM terhadap tari angkutan cukup significant. Dalam hal ini Pemerintah harus berghati-hati menetapkan tariff, sebab bila terlalu tinggi akan diprotes oleh masyarakat. Sebaliknya apabila terlalu rendah bakal ada demo oleh angkutan umum. Oleh karena itu pada saat kenaikan BBM pemerintah biasanya akan menghitung ulang besaran tariff yang wajar yang tidak memberatkan masyarakat dan juga bisa menjaga kelangsungn hidup angkutan umum. Kenaikan BBM biasanya juga menyebabkan kenaikan harga komponen lainnya secara multiplier effek, hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam penentuan tariff. Sebab tariff tidak bisa dihitung dengan teori Ceteris Paribus, yaitu tanpa memepertimbangkan komponen lain selain BBM.
Perusahaaan angkutan menghasilkan produk yang berupa jasa, dimana jumlah jasa yang dihasilkan dihitung menurut ton-km atau ton-mil dan penumpang-km atau penumpang-mil. Dalam hubungan ini, maka tariff angkutan adalah merupakan harga ats jasa-jasa yang dihasilkannya yaitu harga (uang) yang harus dibayarkan oleh pemakai jasa angkutan.
Sungguhpun jasa angkutan dihitung perton-km dan per penumpang-km, namun pembayaran harga untuk jasa angkutan yang digunakan adalah dihitung sebagai satu keseluruhan jasa angkutan dari tempat asal ke tempat tujuan dari para pemakainya.
Ditinjau dalam hubungan dengan tariff angkutan dan sifat pelayanan jasanya, maka perusahaan atau usaha angkutan dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar, yaitu Common carrier dan contract carrier.
Common carrier adalah perusahaan atau usaha angkutan umum yang menentukan tariff angkutannya dengan suatu daftar tariff tertentu, beroperasi atau melayani pemakainya pada waktu-waktu tertentu dan pada trayek yang telah ditetapkan. Jadi common carrier ini merupakan usaha angkutan umum.
Contract carrier adalah perusahaan atau usaha angkutan yang memberikan pelayanan jasanya bila diperlukan, sewanya atau tarifnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan supply dan demand secara langsung serta beroperasi pada trayek-trayek yang diperlukan oleh para pemakai dan yang bersedia dilayani oleh perusahaan angkutan yang bersangkutan. Dengan demikian, contract carrier ini merupakan usaha angkutan carteran melalui suatu kesepakatan dan perjanjian keduabelah pihak dalam penyediaan jasa dan pemakaiannya.
Dalam masalah tariff ini, meskipun dalam indusri transport dipegang juga prinsip bahwa tariff angkutan dihubungkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk memberikan pelayanan jasa yang bersangkutan, tetapi pada dasarnya terdapat factor lain yaitu Value atau nilai yang dapat diberuikan pada jasa tersebut yang mempengaruhi cara dan dasar penentuan tariff angkutan yang bersangkutan.
Sehubungan dengan itu, pada prinsipnya tariff angkutan dipengaruhi dan ditentukan atas dasar dua factor utama yaitu ;
1. Cost of service atau ongkos menghasilkan jasa, yaitu ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan oleh perusahaan angkutan untuk menghasilkan pelayanan jasa angkutan yang bersangkutan
Cost of service dipengaruhi oleh factor-faktor sebagai berikut;
a. Jarak yang harus ditempuh dari tempat asal ke tempat tujuannya
b. Volume dan berat muatan barang yang diangkut
c. Resiko dan bahaya dalam pengankutan, berhubung karena sifat barang yang diangkut sehingga diperlukan alat-alat service yang special
d. Ongkos-ongkos khusus yang harus dikeluarkan berhubung karena berat dan ukuran barang yang diangkut yang luar biasa sifatnya.
e. Kepastian atau keteraturan adanya return cargo yang diangkut.
2. Value of service atau nilai jasa yang dihasilkan, yaitu jumlah uang yang oleh para pemakai jasa nagkutan bersedia/sanggup dibayarnya atau yang dapat dihargainya untuk pelayanan jasa yang diberikan padanya oleh perusahaan angkutan yang bersangkutan.
Value of service dipengaruhi oleh factor-faktor sebagai berikut :
a. Harga pasaran dari barang-barang yang diangkut
b. Konkurensi pasaran antara para shippers (pengirim atau pemakai jasa angkutan) yang dilayani oleh carrier lainnya
c. Konkurensi diantara para carrier sendiri dalam satu usaha angkutan yang sejenis untuk melayani angkutan tertentu
d. Pengembangan untuk produk baru dan pasaran barang baru.
Mengenai factor-faktor yang mempengaruhi dan menyangkut value of service seperti yang diuraikan diatas dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
a. Harga pemasaran barang yang diangkut. Misalnya ditempat A harga sesuatu barang sebesara Rp. 40.00,- perunit sedangkan ditempat B harga barang tersebut Rp. 50.000,- perunit, maka tariff atau ongkos angkutan yang dapat dibebankan pada barang tersebut tidak boleh lebih daripada Rp. 10.000,- yaitu perbedaan harga pasar barang tersebut ditempat asalnya dengan ditempat tujuan nya yaitu Rp. 10.000,-. Jadi dalam hal ini Rp. 10.000,- adalah batas maksimum atau potential upper limit daripada tariff angkutan yang dapat ditetapkan
b. Konkurensi pasaran dari para shippers (para pemakai jasa angkutan) yang dilayani oleh carrier lainnya. Kadang-kadang carrier tertentu dapat perlu memberikan potongan tariff angkutan terhadap shippers tertentu yang harus mengalirkan produknya ke suatu pasar tertentu. Misalnya, harga pokok sesuatu barang didua tempat asalnya P1 dan P2) adalah sama, yaitu Rp. 25.000,- perunit. Untuk dapat masuknya barang yang bersangkutan ke pasar yang sama (M), maka perusahaan angkutan truk yang melayani angkutan barang dari P2 harus memberikan potongan tariff sedemikian rupa, sehingga tarifnya akan sama dengan perusahaan angkutan kereta api yang melayani angkutannya dari P1. Dengan demikian, barang yang bersangkutan akan mengalir pula dari tempat P2 ke pasar yang sama (M)
c. Konkurensi diantara para carriers sendiri. Dalam hubungan ini sesuatu perusahaan angkutan terpaksa bersedia menurunkan tariff angkutan yang didasarkan atas value of service nya untuk meghadapi saingan di antara para carrier atau perusahaan angkutan sendiri. Misalnya, diantara perusahaaan truk tertentu dengan perusahaan-perusahaan truk lainnya dalam melayani angkutan sesuatu barang.
d. Pengembangan untuk produk baru atau pasaran barang baru. Kadang-kadang carrier juga bersedia menetapkan tariff angkutan yang lebih rendah dari kemampuan value of service-nya untuk member stimulant atau dorongan dalam memasuki pasar bagi barang yang diangkut, untuk mencari nama baik produk tertentu, mencari langgana baru dan sebagainya
Denagn dua pertibangan factor diatas, perusahaan angkutan dapat menentukan besaran tariff yang optimal dengan menggunak prinsip “Charging what the traffic will bear”, yaitu suatu cara penetuan tariff angkutan tertinggi yang dapat memberikan penerimaan bersih yang paling menguntungkan bagi perusahaan.Tarif yang paling menguntungkan menurut cara perhitungan ini tergantung kepada dua hal yaitu;
a. Elastisitas kurva permintaaan terhadap jasa angkutan tersebut; Suatu kurva permintaan dianggap elastis bila naik turunnya tariff akan berpengaruh langsung terhadap permintaan akan jasa angkutan tersebut. Sebagai contoh bila tariff perusahaan A naik, maka penumpang perusahaan A akan turun karena berpindah keperusahaan lain atau kemoda lain. Maksudnya apabila tariff bus terlalu tinggi orang akan berpindah ke Kereta Api atau pesawat udara
b. Variabel cost untuk menghasilkan jasa angkutan yang bersangkutan. Apabila sautu perusahaan memiliki varibel cost yang dapat dikendalikan sehingga tetap sama perunit barang tanpa di pengaruhi oleh jumlah barang yang diangkut maka perusahaan itu akan mendapatkan taif yang paling optimal untuk menghasilkan keuntungan.
Penetapan tariff angkutan dapat dikatakan sangat rumit, sebab harus mempertimbangkan banya hal, termasuk posisi daya saing perushaan tersebut di pasaran. Bisa saja suatu perusahaan yang telah diminati masyarakat akan lebih leluasa dalam menaikkan tarifnya sampai batas tertentu. Dalam hal ini biasanya perusahaan akan menaikkan tariff nya pada saat permintaan tinggi (lebaran, natal, tahun baru atu libur panjang). Beberapa perusahaan penerbangan akan menaikkan tariff jauh lebih tinggi dari tariff biasanya pada saat permintaan tinggi, tanpa takut permintaan akan turun atau berpindah ke perusahaan lain atu ke moda angkutan lainnya.
Di Indonesia, pemerintah hanya mengatur tariff ekonomi untuk angkutan jalan, kereta api, angkutan laut dan angkutan penyeberangan. Untuk angkutan udara walaupun ada kelas ekonominya, tariff diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Begitu juga halnya dengan tariff angkutan barang, sepnuhnya diserahkan kepada perusahaan angkutan yang dikendalikan oleh mekanisme pasar. Logikannya, suatu perusahaan tidak akan berani menetapkan tariff yang terlalu tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak banyaknya. Sebab pada kondisi tertentu pengguna jasanya pasti akan mencari perusahaan lain yang lebih murah.
Khusus untuk angkutan penumpang dalam kota, karena terdapatnya perbedaan yang signifikan jumlah penumpang pada saat jam sibuk dan diluar jam sibuk, sehingga menyebabkan produk berupa jasa yang ditawarkan oleh perusahaan angkutan akan hilang percuma. Hal ini telah menyebabkan jasa angkutan kota sulit sekali mendapatkan keuntungan. Oleh karean itu di beberapa Negara yang sudah maju, pelayanan angkutan kota sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah, dengan membeli jas yang disediakan oleh pihak swasta, dimana selisih dari harga atau tariff yang ditetapka oleh pemrintah akan bayar oleh pemerintah dalam bentuk subsidi.
Untuk menutupi subsidi, pemerintah membuat kebijakan tertantu terhadap kendaraan pribadi seperti menaikkan harga jual kendaraan, kebijakan pajak, retribusi, parkir progresif atau pun pajak pengguna jalan (road pricing). Di Negara kita kendaraan pribadi dan sepeda motor masih dapat dengan bebas menggunakan kendaraannya tanpa dibebani oleh pemerintah. Hal ini membuat tariff angkutan yang diterapkan pemerintah terhadap angkutan umum terlihat lebih tinggi dari harga atau biaya opearasi kendaraan pribadi atau sepeda motor. Akibatnya pertumbuhan kendaraan pribadi dan sepeda motor menjadi tidak terkendali. Dilain pihak angkutan umum makin sulit mendapatkan penumpang. Akhirnya tariff yang ditetapkan oleh pemerintah tadi tidak sanggup menutupi biaya operasi mereka. Ini suatu PR besar bagi pengelola angkutan umum khususnya pemerintah daerah. Pemerintah daerah sebagai penanggung jawab penyediaan angkutan umum didaerah tidak akan dapat berbuat apa-apa apabila tidak ada sumber dana yang dapat digunakan untuk membantu mensubsidi angkutan umum. Apabila hal ini terus dibiarkan maka suatu saat jalan kita akan dikuasai oleh kendaraan pribadi dan sepeda motor, dan angkutan umum akan mengalami kematian karena kehabisan penumpang.
Refferensi :
1. Manajemen Transportasi; Drs. MN Nasution, MSTr, Penerbit Ghalia Indonesia; Bogor; Desember; 2008
2. Ekonomi Transportasi; Prof. Drs.H. Rustian Kamludin; Penerbit Ghalia Indonesia; Jakarta; 2003
3. Perencanaan Transportsi; Fidel Miro, SE, MSTr; Penerbit Erlangga; Jakarta; 2005
4. http://contoh.kp3i.or.id/2010/10/20/pejabat-dki-harus-beri-contoh-naik-angkutan-umum/
5. http://www.antarafoto.com/spektrum/v1278323706/penggunaan-angkutan-umum
Cetak
0 komentar:
Posting Komentar